Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfian Bahri
Guru Bahasa Indonesia

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Tantangan Kampanye di Lembaga Pendidikan: Feodalisme dan Pendidikan Politik

Kompas.com - 26/08/2023, 09:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UTAK-atik wajah politik tidak ada habisnya. Menjelang pemilu 2024, keadaannya kian membuat kernyit dahi.

Terbaru pada aturan kampanye peserta pemilu. Sekolah dan kampus diperbolehkan untuk menjadi ruang kampanye dengan syarat tertentu.

Hal tersebut dapat dilihat pada amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65-PUU-XXI/2023, yang menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Pada poin tempat pendidikan, tentu arah turunannya adalah pendidikan tinggi (kampus) dan pendidikan menengah dan dasar (sekolah). Dari sini, sudut pandang intepretasi putusan MK harus dipisahkan menjadi dua ruang yang berbeda.

Dalam ruang lingkup kampus, tentu persoalan tidak begitu pelik. Justu peran kampus di sini dapat menjadi pihak yang menguji dan mengevaluasi gagasan para calon presiden.

Melalui metode akademik dan argumentasi intelektual, semua itu memungkinkan terjadi dengan baik.

Sedangkan bagi sekolah, melakukan kampanye di sendi-sendi kelas tidak terlihat memberi relevansi, manfaat, ataupun urgensi. Justru ajang kampanye dapat menjadi pintu masuk penggemukan citra identitas partai.

Lebih jauh lagi, keduanya berpotensi tak berdaya saat dihadapkan oleh kultur hierarki dari budaya feodalisme pendidikan. Di sanalah tantangan sesungguhnya, ketika hierarki struktural justru bergerak lebih dominan memengaruhi arus suara kebebasan dan demokrasi.

Konsekuensi tersebut sulit dihindari. Bisa sama-sama kita lihat, paling mencolok dari ciri masyarakat feodal adalah ketaatan mutlak dari lapisan bawahan kepada atasannya.

Orientasi subjeknya ada pada nilai pelayanan yang berlebihan terhadap penguasa, pejabat, birokrat, atasan atau orang yang dituakan. Semua itu ada dan tumbuh subur dalam tubuh sekolah dan kampus Indonesia.

Jadi, hierarki struktural inilah yang pada akhirnya bakal menjadi pintu masuk sekaligus mengubah wajah kampanye menjadi acara puja-pujian dan pelanggengan doktrin-doktrin.

Pendidikan politik

Saya pribadi sebagai guru cukup cemas, mewanti-wanti, dan mempermasalahkan putusan MK tersebut.

Generasi muda di sekolah-sekolah sejatinya lebih membutuhkan pendidikan politik ketimbang kampanye. Perbedaan dari kedua aktivitas tersebut ada pada orientasi dan jangka waktu.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPURI) nomor 23 tahun 2018 menjelaskan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta pemilu.

Sementara menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dapat diartikan bahwa kampanye hanya berlangsung mendekati pemilu untuk menghimpun suara, sedangkan pendidikan politik adalah upaya sadar tiap waktu terhadap kesadaran berpolitik, berbangsa, dan bernegara.

Bila para tokoh politik dan publik figur masuk ke sekolah hanya menjelang pemilu, tentu itu merupakan seburuk-buruknya upaya dalam menghadirkan pendidikan politik.

Para siswa dan subjek pendidikan lainnya sejatinya paham bahwa aktivitas politik di sekolahnya hanyalah obral omongan. Namun, feodalisme yang akan membuat semuanya membisu dan menjalankan perintah begitu saja.

Saya teringat cerita teman, seorang guru PKN. Di kelas materi nasionalisme, dia begitu menggebu-gebu menjelaskan sifat dan karakter kebangsaan. Mulai dari sejarah kebangkitan nasional sampai kesadaran kolektif pascakemerdekaan, semua dilahap dengan retorika seorang pendidik.

Namun, upaya yang dilakukan teman saya tersebut tumpul lantaran siswanya tiap detik melihat sekaligus menyaksikan perilaku korupsi para pejabat pemerintahan dan DPR yang ada di mana-mana. Tiap waktu media siar menayangkan politik yang isinya persoalan-persoalan laten.

Seperti anggota DPR yang tidur saat rapat. Hukuman ringan dan remisi bagi koruptor. Buronan KPK yang tak kunjung tertangkap.

Tidak kalah bikin nyengir, mantan koruptor ternyata masih bisa nyaleg. Terbaru juga bikin heboh, wakil rakyat malah ketahuan masin slot saat rapat di parlemen.

Bila diteruskan, tentu bakal banyak persoalan remeh di luar nalar dan etika pemimpin—yang justru dipraktikkan terang-terangan.

Tentu para pemain politik bisa bersilat lidah dengan mengatakan, semua sudah sesuai aturan perundang-undangan dsb. Namun mereka lupa kalau generasi muda tidak peduli dengan itu.

Mereka dan masyarakat hanya tahu bahwa ada banyak koruptor yang hidupnya masih tenang, damai, dan nyaman sekalipun telah mencuri. Dan rasanya juga, para generasi muda jauh lebih paham bagaimana koruptor bisa hidup kaya ketimbang mengerti nilai-nilai Pancasila.

Kalkulasi sederhana semacam itu yang tumbuh dalam benak generasi muda, bukan kerumitan pasal-pasal yang terkadang dapat diutak-atik argumentasinya sesuai dengan transaksi di meja gelap jual beli.

Jadi, pendidikan politik sudah seharusnya berlangsung dan diselenggarakan tiap waktu dalam keadaan apapun. Terlebih lagi di zaman serba terbuka, para pejabat negara sudah seharusnya mengedepankan sikap politik yang sehat ketimbang utak-atik jabatan, status, dan kekuasaan.

Memperbolehkan ruang-ruang kelas menjadi ajang kampanye agaknya memang suatu kemunduran bagi pendidikan politik.

Pada akhirnya bila putusan ini dijalankan, anak-anak bangsa hanya akan menjadi objek politik. Nasibnya seperti ampas tahu, diperas sampai tetes terakhir sebelum akhirnya dibuang menjadi pakan ternak dan bebek.

Kolaborasi mahasiswa dan dosen

Sudah tepat kalau kampanye politik dibawa ke kampus-kampus agar diuji nalar pikiran lewat janji-janji bakal capres.

Seperti yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) dengan mengundang Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto selaku tiga bakal calon presiden (Capres) di Pilpres 2024 untuk adu gagasan pada 14 September mendatang.

Respons dari BEM UI bisa menjadi momentum bangkitnya kembali intelektual mahasiswa sekaligus angin segar bagi pertumbuhan pikiran, gagasan, dan demokrasi.

Sudah seharusnya pikiran dilawan dengan pikiran. Pikiran dikoreksi dengan pikiran. Pikiran dibantah dengan pikiran. Upaya ini juga dapat menjawab kegelisahan publik terhadap kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat.

Momentum tersebut sayangnya berpotensi kurang klimaks bila hanya mengandalkan keterlibatan mahasiswa. Bukan bermaksud menilai rendah kualitas dan kedudukan mahasiswa, hanya saja jauh lebih maksimal bila dialog dan debat kampanye tersebut juga melibatkan dosen.

Dengan modal kapasitas intelektual dan kegiatan penelitian yang sudah dijalankan, para dosen jauh lebih mudah untuk melakukan koreksi argumen. Baik dari segi kualitas dan kuantitas.

Instrumen dan bekal akademik yang dimiliki para dosen dapat membantu memberi kesimpulan berkualitas.

Sedangkan, mahasiswa dalam ruang ini dapat lebih mengedepankan pengkoreksian berbasis keresahan dan uji implementasi. Kekuatan mahasiswa ada di sana.

Sebab, dalam diri mahasiswa ada suatu pengembanan harapan dari suatu fungsi agen perubahan. Semua itu bermula dari keberanian untuk mengutarakan keresahan dan harapan.

Bila dosen dan mahasiswa dalam ruang dialog kampanye dapat bekerjasama dengan baik, niscaya suguhan debat akan benar-benar otentik dan menggairahkan. Tidak berkutat pada argumen tanya jawab seperti kuis dalam debat capres sebelum-sebelumnya. Dosen dan mahasiswa wajib berkolaborasi.

Pada akhirnya, kolaborasi dosen-mahasiswa dalam kampanye politik di tempat pendidikan akan mengajarkan nilai-nilai demokrasi yang otentik, bermartabat, dan berdaulat.

Terlebih lagi dibantu dan didorong oleh jangkauan media siar dan terbukanya batas informasi, pengajaran pendidikan politik akan berlangsung dengan sendirinya.

Dan yang terpenting, kampanye di mana pun berada, tetap harus menjunjung tinggi nilai kebenaran dan tanggung jawab kebangsaan. Masyarakat Indonesia sudah sangat bosan bila terus-terusan menagih janji politik kampanye.

Dengan dibukanya pintu masuk ke kampus, kampanye diharapkan memberi janji-janji realistis yang bisa ditagih nilai dan manfaatnya.

Kita bisa sedikit optimistis, mengingat bagaimanapun kampus memiliki instrumen akademik dan basis intelektualitas yang mumpuni untuk mengoreksi dan mengevaluasi duduk nilai dan manfaat dari sebuah kampanye-kampanye.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Nasional
Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para 'Sesepuh'

Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para "Sesepuh"

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Nasional
Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Nasional
MK Tolak Gugatan PPP Terkait Perolehan Suara di Jakarta, Jambi, dan Papua Pegunungan

MK Tolak Gugatan PPP Terkait Perolehan Suara di Jakarta, Jambi, dan Papua Pegunungan

Nasional
11 Korban Banjir Lahar di Sumbar Masih Hilang, Pencarian Diperluas ke Perbatasan Riau

11 Korban Banjir Lahar di Sumbar Masih Hilang, Pencarian Diperluas ke Perbatasan Riau

Nasional
Perindo Resmi Dukung Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jatim 2024

Perindo Resmi Dukung Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jatim 2024

Nasional
KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar Rupiah

KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar Rupiah

Nasional
Anggota DPR Sebut Pembubaran People’s Water Forum Coreng Demokrasi Indonesia

Anggota DPR Sebut Pembubaran People’s Water Forum Coreng Demokrasi Indonesia

Nasional
Namanya Disebut Masuk Bursa Pansel Capim KPK, Kepala BPKP: Tunggu SK, Baru Calon

Namanya Disebut Masuk Bursa Pansel Capim KPK, Kepala BPKP: Tunggu SK, Baru Calon

Nasional
Tutup Forum Parlemen WWF, Puan Tekankan Pentingnya Ketahanan Air

Tutup Forum Parlemen WWF, Puan Tekankan Pentingnya Ketahanan Air

Nasional
Singgung Kenaikan Tukin, Jokowi Minta BPKP Bekerja Lebih Baik

Singgung Kenaikan Tukin, Jokowi Minta BPKP Bekerja Lebih Baik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com