Wajar kemudian, atas berbagai ketimpangan yang terus mengemuka, ada yang berkesimpulan bahwa kemerdekaan ini sejatinya belum sepenuhnya dinikmati bersama oleh anak bangsa.
Ini barangkali adalah pengalaman pribadi, bisa jadi subjektif, tapi setiap menyaksikan realitas ketimpangan yang ada, saya kerap mengelus dada sambil menghela napas panjang tanda kecewa.
Sebagai seorang putra timur yang lebih sering tinggal di ibu kota negara (Jakarta), namun setiap pulang bepergian dari Maluku atau dari kawasan timur lainnya, selalu saja ada perasaan belum puas menjadi bagian dari Indonesia.
Selalu terbesit rasa gundah bila membandingkan realitas pembangunan yang masih jauh dari kata adil.
Ketidakadilan distributif itu tak hanya terlihat nyata, juga terkonfirmasi dalam berbagai data statistik yang dikeluarkan oleh otoritas terkait, akan panjang bila disajikan dalam catatan pendek ini.
Statistik yang ada itu pun sejauh ini hanya sekadar menjadi pajangan karena sepertinya belum menjadi acuan dalam mengevaluasi arah pembangunan nasional.
Di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera infrastruktur dibangun dengan lebih agresif, sementara di Indonesia timur belum banyak yang berubah dari tahun ke tahun.
Ini belum dihitung dengan berbagai regulasi yang tidak berpihak atau bahkan cenderung diskriminatif.
Penguasaan sumber-sumber ekonomi juga masih dan tetap ada pada sekelompok kecil orang. Peralihan kekuasaan yang sebelumnya dijalankan Belanda atas negeri ini, hanya menghasilkan sebentuk negeri merdeka yang dikendalikan oleh elite bangsa sendiri, untuk kepentingan kelompok sendiri, di pusat maupun di daerah.
Kita hanya baru bisa memindahkan kekuasaan dari kolonialisme Bangsa Eropa ke tangan para oligarki, membuat pembangunan nasional yang berjalan hingga hari ini tak menyentuh kebutuhan mendasar. Indonesia pun masih tetap berada dalam struktur masyarakat yang feodal warisan kolonialisme.
Ketidakadilan dan kesenjangan yang begitu telanjang, makin lama semakin dianggap sebagai hal yang biasa atau lumrah. Padahal kesepakatan berdirinya Indonesia tentu tidak untuk memperlebar jurang orang kaya dan miskin serta mengabaikan hak-hak minoritas.
Andai saja para pendahulu kita, para founding fathers yang turut ambil bagian dalam membangun kesepakatan (baca: menjadi Indonesia) itu masih hidup, khususnya dari daerah-daerah yang memiliki saham besar atas terbentuknya republik ini, lantas belum mendapatkan atau tidak turut memetik buah kemerdekaan. Saya yakin mereka akan menarik kembali kesepakatan yang dibuat itu.
Perjalanan bersama sejauh ini tanpa disadari terus melenceng dari kesepakatan awal negara-bangsa ini didirikan. Seakan berada pada tubir atau tepian jurang kegagalan.
Bila terus dibiarkan, dengan melihat realitas yang ada, bukan tak mungkin Indonesia sejatinya sedang menuju fase bubar, seperti yang pernah ditulis dalam karya fiksi Peter W. Singer berjudul Ghost Fleet. Mari kita renungkan bersama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.