Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Diminta Ambil Langkah Konkret Buat Revisi UU Peradilan Militer

Kompas.com - 07/08/2023, 21:40 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah konkret buat mewujudkan wacana revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Peradilan Militer.

"Kami menyatakan Presiden Republik Indonesia untuk menerbitkan Surat Presiden terhadap agenda Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer kepada DPR-RI," kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri yang tergabung dalam koalisi itu melalui keterangannya, seperti dikutip pada Senin (7/8/2023).

"Atau langsung menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," lanjut Gufron.

Gufron juga meminta Jokowi dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, serta Kementerian Pertahanan segera mewujudkan langkah evaluasi terhadap penempatan perwira aktif TNI di lembaga sipil.

"Menarik mundur dan memastikan tidak ada Anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil di lembaga manapun, baik Kementerian/Lembaga, Badan, dan/atau lainnya, selama belum ada perubahan Sistem Peradilan Militer," ucap Gufron.

Baca juga: Soal Wacana Revisi UU Peradilan Militer, Anggota Komisi I: Baiknya Pemerintah Ajukan Ke DPR

Gufron mengatakan, polemik penanganan kasus dugaan suap mantan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Marsdya Henri Alfiandi, serta Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto, memperlihatkan UU Peradilan Militer yang masih diberlakukan saat ini memicu beragam masalah.

Hal itu terlihat ketika terjadi reaksi penolakan dari TNI setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Afri.

Operasi tangkap tangan itulah yang mengungkap dugaan keterlibatan Henri dalam perkara suap sejumlah proyek pengadaan di Basarnas.

Menurut Gufron, UU 31/1997 sudah tidak relevan setelah lahir Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Dalam kasus Henri dan Afri, kata Gufron, TNI berkeras hanya mereka yang bisa menangani dan menetapkan status hukum kepada personel militer yang diperbantukan di lembaga sipil jika terlibat perkara.

Baca juga: Saat Pemerintah dan TNI Terbuka untuk Revisi UU Peradilan Militer

Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI Marsekal Agung Handoko sempat menyatakan KPK menyalahi aturan dengan menyatakan Henri dan Afri sebagai tersangka.

Alhasil, akibat tekanan itu, KPK justru meminta maaf dan menyerahkan penanganan kasus Henri dan Afri kepada Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI, dengan alasan kedua orang tersebut merupakan anggota TNI aktif dan berada di bawah yurisdiksi peradilan militer.

 

Akhirnya Puspom TNI menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka dan menahan keduanya di Instalasi Tahanan POM TNI AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta.

"Dalih bahwa anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana berada di bawah yurisdiksi peradilan militer menunjukkan adanya eksklusivitas TNI dalam sistem peradilan di Indonesia yang justru cenderung memperkuat sentimen kekebalan hukum di institusi militer," ucap Gufron.

Menurut Gufron, cara pandang itu justru merupakan kekeliruan dalam penerapan UU 31/1997.

Baca juga: Wapres Sebut UU Peradilan Militer Perlu Disempurnakan agar Sesuai Zaman

Halaman Berikutnya
Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com