Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Elegi dan Ujian Politik Ganjar Pranowo

Kompas.com - 29/07/2023, 06:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH mencermati perkembangan politik belakangan, terutama setelah deklarasi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden resmi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menjadi Ganjar Pranowo saat ini justru identik dengan menjadi calon presiden yang paling penuh tantangan perjuangannya dan serba salah secara politik.

Masalah pertama, Jokowi yang semula diharapkan bisa memberikan efek pengganda pada elektabilitas Ganjar justru terkesan semakin mengabaikan peran politiknya sebagai kader PDIP yang semestinya berkewajiban mendongkrak kekuatan politik Ganjar Pranowo.

Jokowi semakin terlena dengan mimpinya untuk pensiun secara damai dan nyaman, dengan terus membangun dan memproyeksikan peta politik prapilpres yang sangat menguntungkan dirinya secara personal dan keluarganya.

Dari sikap dan kecenderungan politik yang dipertontonkan Jokowi, Ganjar nampaknya bukanlah pilihan politik yang tepat baginya untuk pensiun secara damai dan nyaman tersebut.

Lihat saja, diksi-diksi politik yang diumbar Jokowi terkait dengan calon penggantinya sangat kurang terkait dengan Ganjar Pranowo.

Pemilihan kata-kata yang dipertontonkan Jokowi sangat menyenangkan Prabowo Subianto, bukan Ganjar Pranowo.

Langkah-langkah taktis dan "manajemen jadwal" Jokowi pun demikian. Prabowo seolah lebih mendapat tempat prioritas ketimbang Ganjar Pranowo.

Dan tak lupa, upaya "political engineering" yang disinyalir didukung oleh Jokowi lebih menarget kandidat yang tidak didukung oleh PDIP.

Jokowi terkesan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap Prabowo yang terus mendongkel kantong pemilihnya dengan berbagai strategi.

Termasuk membiarkan, atau boleh jadi mendorong, anak-anaknya untuk lebih banyak menjalin relasi politik dengan kandidat capres asal Hambalang, ketimbang kandidat PDIP dari Semarang.

Bahkan setelah mengenakan baju hitam putih garis-garis di Bogor, Gibran masih dengan santai mengelak dianggap sebagai endorser kelas satu buat Ganjar Pranowo.

Walaupun kepengurusan tim sukses Ganjar belum dibentuk secara resmi, jika memang Gibran mendapat kepercayaan dari sang Bapak untuk memenangkan Ganjar, semestinya beliau tidak perlu mereaksinya secara diplomatis-negatif, seolah-olah beliau sama sekali tidak mendukung Ganjar.

Toh kalau memang benar-benar satu perahu dengan PDIP dan Ganjar, mau menjadi ketua tim sukses atau bukan, kata-kata suportif-positif haruslah menjadi kata-kata yang ditonjolkan sebagai bentuk kesegarisan politik antara Gibran dan Ganjar. Namun sangat disayangkan, spirit demikian tidak muncul sama sekali dari mulut seorang Gibran.

Masalah kedua, yang juga paling mengherankan adalah soal relawan Jokowi yang ternyata tidak memperlihatkan tanda-tanda akan memberikan dukungan kepada Ganjar Pranowo. Sikap politik relawan seperti Projo menjadi refleksi dari sikap politik Jokowi.

Ketika relawan ProJokowi berusaha menunda untuk bersikap tegas dalam hal dukungan politik dengan terus mengadakan Musra (Musyawarah Rakyat) untuk mengulur waktu, Projo sebenarnya sedang memperlihatkan sikap politik Jokowi yang sebenarnya, yakni sikap ambigu yang terkesan memang disengaja.

Dan ketika sikap Projo semakin cenderung memperlihatkan preferensi politik ke Prabowo, Jokowi tak berbeda.

Jokowi semakin mesra dengan Prabowo seiring dengan foto-foto kebersamaan keduanya yang bertebaran secara masif di seluruh daerah di Indonesia.

Tidak ada bantahan atau pun pembenaran dari Jokowi. Yang ada adalah pembiaran, yang secara politik justru "menyakiti" Ganjar Pranowo dan PDIP.

Kerenggangan kaitan antara Jokowi sebagai "King Maker" seorang Ganjar sebagaimana selama ini sudah terlanjur diasumsikan publik dengan Ganjar cukup memengaruhi performa politik Ganjar dalam beberapa bulan terakhir.

Tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan Prabowo dalam membangun "kesan" bahwa dirinya adalah penerus Jokowi cukup efektif dalam mendongkrak raihan elektabilitasnya di survei-survei politik yang ada.

Foto-foto kebersamaan Prabowo dengan Jokowi, meskipun tidak dijustifikasi secara verbal oleh Jokowi, justru kurang produktif untuk gerak-gerik politik Ganjar Pranowo.

Sebagaimana saya tulis pada artikel opini sebelumnya, ambiguitas politik Jokowi justru akan menjadi bumerang bagi PDIP dan Ganjar Pranowo dan menjadi bonus politik luar biasa bagi Prabowo.

Artinya, sekalipun Jokowi tidak memberikan dukungan verbal kepada Prabowo, tapi di sisi lain Jokowi juga tidak menyatakan dukungan terbuka kepada Ganjar Pranowo, maka suara pemilih Jokowi akan mengambang.

Dengan kondisi itu, otomatis Prabowo akan sangat terbantu, karena dengan strategi yang diterapkannya hari ini, yakni strategi "menempel Jokowi sedekat dan seintensif mungkin", Prabowo memiliki kesempatan untuk mengambil ceruk suara non PDIP yang mendukung Jokowi.

Asumsinya, dengan hanya mengantongi suara pendukung Jokowi non PDIP sekitar 25-30 persen saja, Prabowo sudah bisa mengalahkan Ganjar Pranowo di ajang Pilpres 2024.

Sementara itu, jika Jokowi tidak menyatakan dukungan secara tegas kepada Ganjar Pranowo sekaligus tidak melakukan kerja politik untuk memenangkannya, maka suara Ganjar Pranowo sangat berpeluang menciut sebatas hanya sebesar suara partai-partai yang mendukungnya, karena mayoritas pendukung Jokowi adalah pemilih non PDIP.

Jadi jika Jokowi tidak menguncinya untuk Ganjar Pranowo, maka suara ini akan berpeluang ditarik oleh Prabowo.

Masalah ketiga adalah bahwa mesin politik utama Ganjar Pranowo belum bekerja secara maksimal atau boleh pula dikatakan belum terkonsolidasi secara optimal.

PDIP, sekalipun selalu didapuk oleh lembaga survei sebagai partai politik peringkat satu, nyatanya belum memberikan jaminan penuh kepada seorang Ganjar bahwa semua elemen di dalam partai akan mendukung dan berjuang sekuat tenaga untuk capres resminya, yaitu Ganjar Pranowo.

Beberapa tokoh dari PDIP mulai memperlihatkan sikap politik ambigu kepada Ganjar Pranowo, dengan pernyataan-pernyataan yang justru memberikan sinyal positif kepada Prabowo.

Effendi Simbolon dan Budiman Sujatmiko, setelah bertemu dengan Prabowo, justru melemparkan pernyataan suportif kepada calon presiden dari Partai Gerindra tersebut.

Sekalipun berkali-kali dibantah oleh DPP PDIP, peristiwa tersebut sudah terjadi dan sangat jelas memperlihatkan ketidaksolidan di dalam partai berlambang Banteng moncong putih tersebut.

Karena pernyataan kedua tokoh tersebut bukanlah pernyataan diplomatis abu-abu, tapi jelas-jelas pernyataan dukungan kepada Prabowo sebagai presiden yang katanya paling sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini.

Memang, PDIP sedang bekerja di level elite untuk merangkul elite-elite dari partai politik lain, seperti bertemu dengan petinggi Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Namun yang dilakukan PDIP adalah langkah politik yang juga dilakukan oleh partai politik lain. Belum terlihat strategi politik praktis untuk membendung pergerakan politik Prabowo yang terus berusaha mencuri kantong suara pemilih Jokowi dan PDIP.

Pun belum terlihat kerja-kerja politik lapangan yang meyakinkan dari kader-kader akar rumput PDIP untuk Ganjar Pranowo, semasif dan semilitan yang dilakukan oleh pendukung-pendukung Prabowo.

Dan terakhir, masalah keempat adalah kekurangsiapan relawan-relawan Ganjar Pranowo. Hal ini sangat bisa dipahami, karena pada awalnya publik beranggapan bahwa Ganjar akan mewarisi barisan Relawan Jokowi yang memang sudah teruji kerja politiknya. Boleh jadi pihak Ganjar pun sempat berharap demikian.

Namun kenyataannya, Ganjar harus memulai dari nol. Tidak ada tanda-tanda relawan-relawan kelas satu Jokowi akan bermigrasi segera untuk mendukung Ganjar.

Walhasil, Ganjar harus membentuk relawan sendiri sedari awal, dalam rentang waktu yang sangat pendek. Tentu hasilnya belum akan terasa secara maksimal, karena memulai dari nol bukanlah sebuah perkara mudah.

Namun, dari semua persoalan dan tantangan di atas, menurut saya, ada satu hal penting yang menarik perhatian saya.

Walaupun Ganjar "diterlantarkan" secara politik oleh Jokowi, walaupun ekspansi pergerakan politik Prabowo cukup masif, walaupun mesin politik pendukung Ganjar belum bekerja secara maksimal, walaupun relawan Ganjar sendiri belum bekerja optimal, nyatanya Prabowo hanya mampu unggul dari Ganjar Pranowo di survei-survei yang ada sekitar 3 persen saja.

Artinya, Ganjar Pranowo memang memiliki popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas yang layak diandalkan.

Artinya lagi, peluang kemenangan Prabowo tak sebesar yang digembar-gemborkan para pendukungnya karena dengan upaya-upaya politik terstruktur yang telah dilakukan selama beberapa bulan ini, suara Prabowo hanya mampu mengungguli Ganjar sekitar 3 persen.

Tentu sangat bisa dibayangkan jika Ganjar, PDIP, Koalisi Partai pendukung, dan barisan relawan sudah mulai melakukan kerja politik secara maksimal, saya yakin suara dan elektabilitas Ganjar akan kembali ke jalur yang semestinya, yakni di atas elektabilitas Prabowo Subianto dengan jarak yang cukup untuk memenangkan kontestasi.

Raihan elektabilitas Ganjar yang tetap "moncer" tersebut, meskipun diterjang intrik-intrik politik kawan dan lawan, saya yakin, adalah buah dari kerja politik nyata Ganjar selama ini.

Dari konstelasi politik di atas yang cenderung menyudutkan Ganjar, sangat bisa dipahami mengapa beliau akhirnya fokus menggunakan media sosial sebagai instrumen untuk menyapa pemilihnya secara langsung. Hanya media sosial yang akhirnya benar-benar efektif untuk menyampaikan siapa dan apa yang dikerjakan Ganjar selama ini.

Dengan kata lain, bagi Ganjar, media sosial bukanlah media pencitraan, tapi media intermediasi politik antara dirinya dan masyarakat Indonesia, karena mesin politik lain yang semestinya membantunya melakukan itu tenyata belum bekerja secara optimal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Korban Dugaan Asusila Sempat Konfrontasi Ketua KPU saat Sidang DKPP

Nasional
Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Covid-19 di Singapura Naik, Imunitas Warga RI Diyakini Kuat

Nasional
WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

WWF 2024 Jadi Komitmen dan Aksi Nyata Pertamina Kelola Keberlangsungan Air

Nasional
Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Menhub Targetkan Bandara VVIP IKN Beroperasi 1 Agustus 2024

Nasional
Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Korban Dugaan Asusila Ketua KPU Sempat Ditangani Psikolog saat Sidang

Nasional
Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Polri: Kepolisian Thailand Akan Proses TPPU Istri Fredy Pratama

Nasional
Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com