Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penangkapan Budiman Sudjatmiko dan Air Mata Ibu Usai Insiden 27 Juli

Kompas.com - 27/07/2023, 17:45 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Salah satu tokoh yang dijebloskan ke penjara karena dituduh menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996 adalah Budiman Sudjatmiko.

Pada masa itu, Budiman adalah seorang aktivis sekaligus pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD). Budiman dan PRD ketika itu memilih bergabung dengan massa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kubu Megawati Soekarnoputri.

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto ketika itu enggan mengakui Megawati sebagai Ketua Umum PDI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, Jawa Timur, yang berlangsung pada 2 sampai 6 Desember 1993.

Dalam KLB itu Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Hasil pemilihan itu ditetapkan pada musywarah nasional (PDI) yang digelar pada 22 Desember 1993 di Jakarta.

Baca juga: Gelar Tabur Bunga Kenang Kudatuli, PDI-P Minta Peristiwa Tersebut Diusut Tuntas

Akan tetapi, PDI kubu Suryadi tidak mengakui hasil KLB dan musyawarah nasional itu. Di sisi lain, pemerintah lebih mendukung Suryadi buat memimpin PDI.

Berbagai upaya penyelesaian sengketa tidak berhasil hingga akhirnya terjadil bentrokan pada Sabtu, 27 Juli 1996. Kerusuhan tidak hanya terjadi di kantor PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tetapi juga meluas ke kawasan Megaria dan Cikini.

Bentrokan tidak hanya terjadi antara massa pendukung Megawati dan Soerjadi, melainkan juga aparat. Pemerintah Orde Baru menuding PRD menjadi penyebab kerusuhan.

Ketika itu, PRD menjadi salah satu basis kekuatan massa pro-demokrasi dan penentang kekuasaan Soeharto. Sejumlah aktivis PRD, termasuk Budiman, ditangkap.

Baca juga: Kenang 26 Tahun Kudatuli Saat Kantor PDI Diserang, Hasto: Titik Sangat Gelap dalam Demokrasi

 

Ratapan ibu

Setelah kerusuhan itu, Budiman berhasil lolos dari aparat keamanan dan pulang ke rumah orang tuanya di Desa Sukaresmi, Cilebut, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu, 28 Juli 1996, sore.

Menurut penuturan ibu Budiman, Sri Sulastri, anaknya itu pulang ke rumah bersama 2 orang teman. Akan tetapi, Budiman dan kedua temannya pergi lagi selepas Maghrib.

Menurut pemberitaan surat kabar Kompas edisi 6 Agustus 1996, itulah pertemuan terakhir Sulastri sebelum anaknya ditangkap aparat.

Setelah mendengar Budiman ditangkap, Sri dan suaminya, Wartono Karyo Utomo, mendatangi Kejaksaan Agung pada Senin, 5 Agustus 1996. Dia berharap bisa bertemu dengan anaknya yang ketika itu ditetapkan sebagai tersangka delik subversi.

Saat diwawancara oleh awak media, Sri hanya bisa menangis dan berharap Budiman segera pulang.

Baca juga: Komnas HAM Disebut Belum Pernah Rekomendasikan Peristiwa Kudatuli sebagai Pelanggaran Berat HAM

"Pulanglah Djatmiko, Ibu kangen. Pulanglah biar masalah ini lekas selesai. Kasihanilah Ibumu. Cepatlah pulang, ketemu Bapak-Ibu dan adik-adikmu," kata Sri sambil menangis.

Sulastri ketika itu mengaku terkejut kalau anaknya terlibat dalam PRD. Sepanjang yang dia tahu, Budiman sulit diajak berkomunikasi dan memang pernah kuliah di Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM), tetapi hanya sampai semester 2.

Halaman:


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com