JAKARTA, KOMPAS.com - Gejolak politik selepas peristiwa kerusuhan dan penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996, atau disebut Kudatuli, berimbas kepada para aktivis muda diburu oleh aparat keamanan.
Bahkan intelijen ABRI ikut dikerahkan memburu keberadaan para aktivis seperti Budiman Sudjatmiko, Petrus Hariyanto, dan lainnya.
Saat itu Budiman dan Petrus menjabat sebagai Ketua dan Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Pemerintahan Orde Baru menuduh PRD adalah biang keladi kerusuhan 27 Juli. Mereka dituduh melakukan provokasi dan berupaya melakukan tindakan subversif atau menggulingkan pemerintahan Presiden Soeharto. Sebuah tuduhan yang cukup serius.
Baca juga: Gelar Tabur Bunga Kenang Kudatuli, PDI-P Minta Peristiwa Tersebut Diusut Tuntas
Satu persatu dari mereka diculik dan dibawa ke tempat khusus buat diinterogasi. Lainnya ada yang memilih menyerahkan diri kepada aparat keamanan.
Operasi memburu para aktivis itu dilakukan oleh TNI dengan mengerahkan petugas intelijen.
Dari hasil pengintaian, aparat menangkap Budiman dan Petrus pada 18 Agustus 1996 sekitar pukul 21.15 WIB.
Menurut laporan surat kabar Kompas edisi 13 Agustus 1996, keduanya ditangkap ketika menyaksikan siaran berita TVRI di rumah milik Beni S. di daerah Bekasi.
Kepala Penerangan/Humas Bakorstanas sekaligus Kepala Pusat Penerangan ABRI (kini TNI) Brigjen Amir Syarifudin mengatakan, dalam penangkapan Budiman dan Petrus itu aparat menyita sejumlah dokumen.
Baca juga: Kenang 26 Tahun Kudatuli Saat Kantor PDI Diserang, Hasto: Titik Sangat Gelap dalam Demokrasi
Sejumlah aktivis lain yang ditangkap usai peristiwa Kudatuli adalah Garda Sembiring (Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi/SMID Jakarta) dan Imanuel Pranowo (Sekjen Pusat Perjuangan Buruh Indonesia/PPBI) di Depok, serta Kendar Kusmandar yang merupakan agitator PRD di kawasan Blok M.
Amir mengatakan, para aktivis itu diduga berupaya menggulingkan pemerintahan atau delik subversif terkait peristiwa 27 Juli.
"Jelas ini subversif," kata Amir.
Selain itu, aparat keamanan juga menuduh PRD bertujuan akhir menggulingkan kekuasaan sah atau tindak subversif dengan memakai cara-cara yang mirip dengan metode Partai Komunis Indonesia.
Amir mengeklaim, dari dokumen-dokumen yang disita aparat berwenang diperoleh indikasi kuat PRD mirip dengan gerakan komunis.
Baca juga: Komnas HAM Disebut Belum Pernah Rekomendasikan Peristiwa Kudatuli sebagai Pelanggaran Berat HAM
"Kalau kita baca manifesto politik PRD, semuanya mirip. Jadi ini jelas subversif," kata Amir.