Persoalannya, anak muda bukan tak mau berpolitik. Buktinya, angka partisipasi pemilih muda justru sangat tinggi.
Hasil survei CSIS menunjukkan, sebanyak 85,9 persen anak muda mengaku menggunakan hak pilih pada pemilu 2014. Angka tersebut meningkat pada 2019 menjadi 91,3 persen.
Mari lihat kenyataan lain. Setidaknya, kalau melihat tahun 2019 dan 2020 lalu, ada momentum anak-anak muda tumpah-ruah ke jalan-jalan di hampir semua kota/kabupaten di Indonesia.
Majalah Tempo dan BBC menyebut demonstrasi itu sebagai yang terbesar setelah reformasi 1998. Mereka menggugat korupsi, konservatisme politik, dan dominasi oligarki.
Jadi, anggapan bahwa anak muda tidak menyukai politik masih perlu diperdebatkan.
Menurut saya, anak muda bukan enggan berpolitik, melainkan ruang politik Indonesia yang kurang terbuka bagi partisipasi kaum muda.
Memasuki gelanggang politik Indonesia tidaklah seperti berjalan melenggang bebas memasuki arena. Faktanya, ada banyak rintangan yang membuat politik Indonesia hanya bisa dimasuki anak muda keturunan darah biru (politik dinasti), keturunan kaya-raya, atau punya popularitas.
Pertama, persyaratan parpol peserta pemilu sangat berat, rumit, dan berbiaya mahal.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengutip hasil penelitian Dr Marcin Walecki, ilmuwan politik asal Polandia, persyaratan parpol berbadan hukum sekaligus peserta pemilu di Indonesia merupakan yang terberat dan termahal di dunia.
Menurut penelitian Walecki, biaya yang diperlukan agar parpol menjadi peserta pemilu berkisar antara 10-15 juta dollar AS atau Rp 150-225 miliar.
Beratnya persyaratan parpol menuntut biaya yang sangat besar pula. Hal itu mempersempit peluang anak muda untuk menghadirkan parpol baru, terutama yang dibangun dari bawah dan berbasis gerakan sosial.
Kedua, parpol di Indonesia mengidap penyakit feodal: politik dinasti. Hampir semua parpol di Indonesia terjangkit penyakit politik dinasti. Kekuasaan tertinggi partai dipegang satu keluarga dan diwariskan turun-temurun.
Politik dinasti menutup peluang anak-anak muda Indonesia yang bukan keturunan darah biru politik untuk membangun karier politiknya di partai. Politik dinasti juga menutup peluang hadirnya gagasan baru.
Ketiga, politik yang transaksional dan berbiaya tinggi. Hasil riset menunjukkan, caleg DPR RI harus menyediakan dana minimal Rp 1 miliar - Rp 2 miliar, DPRD provinsi Rp 500 juta - Rp 1 miliar, dan DPRD kabupaten/kota Rp 300 juta.
Biaya politik yang mahal tentu saja memupuskan kesempatan banyak anak muda untuk berkiprah dalam politik. Sebab, tidak semua anak muda Indonesia kaya-raya.
Keempat, politik yang bertumpu pada figur/tokoh. Politik yang bersandar pada figur mengedepankan popularitas. Mereka yang digaet oleh partai, lalu diusung sebagai tokoh atau kandidat, adalah mereka yang populer dan berpotensi punya elektabilitas tinggi.