Hanya saja, perlu disadari bahwa AI bukanlah entitas yang sepenuhnya mandiri, tetapi alat sekaligus cara yang dirancang oleh manusia sendiri.
Manusia memegang peran penting dalam merancang dan mengatur sistem AI untuk memastikan kebijakan yang berkeadilan, menjunjung etika, inklusif, dan menjamin keamanannya.
Bagaimana dengan ideologi? Meminjam istilah Glen Weyl dan Jaron Lanier, “AI is an Ideology, Not a Technology”, sebagai peneliti di Microsoft, melalui artikelnya menegaskan bahwa AI adalah keyakinan berbahaya yang gagal mengenali hak pilihan manusia.
AI paling baik dipahami sebagai ideologi politik dan sosial daripada sebagai sekeranjang algoritma.
Inti dari ideologinya adalah bahwa rangkaian teknologi, yang dirancang oleh elit teknis kecil, dapat dan harus menjadi otonom dari dan pada akhirnya menggantikan, bukannya melengkapi, bukan hanya manusia individu tetapi sebagian besar umat manusia.
Dalam konteks pembinaan ideologi Pancasila, kemunculan AI harusnya menjadi alat bantu yang baik. Hanya perlu memberikan arah dan pedoman yang tidak hanya konsisten, tetapi tumbuh secara organik seperti proses pembudayaan.
Warga negara harus melakukannya dengan komitmen yang lebih produktif dan dinamis dalam jangka panjang dan bukan lagi top-down.
Namun demikian, sebagaimana teknologi lain, karena AI dalam prosesnya didesain oleh manusia juga, maka paradigma dan algoritma tertentu tetap berlaku. Ini terjadi ketika menjawab isu-isu kontroversial, seperti SARA dan lainnya.
Selain berdasarkan desain pikiran manusia, jawaban-jawabannya menunjukkan bahwa AI sebetulnya juga memiliki “ideologi”, paling tidak dipengaruhi oleh yang mendesainnya atau data yang tersebar di masyarakat.
Oleh karena itu, narasi ideologi Pancasila perlu diperkuat dengan terstruktur, sistematis, dan masif pada wilayah yang mendukung data AI. Tentu juga manusianya.
Keterlibatan aktif warga negara dalam menciptakan teknologi dan sistem data, melalui berbagai gerakan kolektif menawarkan pandangan alternatif yang menarik.
Kondisi ini turut memberi penegasan bahwa AI menjadi bagian primer dalam tumbuh kembang teknologi pendidikan, khususnya wilayah pembinaan.
Hal ini tentu memberikan implikasi secara eksplisit terhadap proses sosialisasi dan pembinaan ideologi Pancasila pada masa depan.
Di Indonesia, penggunaan AI masih tergolong baru. Namun, beberapa aplikasi dan platform online telah dibuat untuk membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam berbagai kebutuhan.
Lalu, apakah data dan algoritma AI dapat digunakan untuk pembinaan ideologi Pancasila? Tentu untuk mencapai hal ini, pengambil kebijakan dan warga negara membutuhkan keterampilan yang lebih kuat untuk memanfaatkan dukungan AI secara maksimal.