Secara kontekstual pola dan cara lama mungkin segera ditinggalkan jika tidak mampu memenuhi keinginan warga negara yang telah sadar akan pesatnya perkembangan teknologi kontemporer.
Pola komunikasi warga negara telah mengalami transformasi yang cukup signifikan sehingga hanya menggunakan media konvensional saja dipandang tidak lagi memadai.
Transformasi itu berdampak pada aktivitas sosial masyarakat secara menyeluruh, khususnya kalangan generasi Z dan generasi milenial.
Dikutip dari hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah generasi Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia.
Sementara itu, jumlah penduduk paling dominan kedua berasal dari generasi milenial sebanyak 69,38 juta jiwa penduduk atau sebesar 25,87 persen.
Pertanyaannya adalah, mungkinkah sosialisasi dan pembinaan ideologi Pancasila masih bertahan dengan pola lama dan itu-itu aja? Atau memang benar-benar mendesak dibutuhkan kolaborasi antara ideologi dan kemajuan teknologi?
Bisa jadi pertanyaan ini berlebihan, meski perlu kita dalami dengan penyelidikan yang pasti.
Efektivitas kecerdasan buatan
Bahasan yang sedang marak hari-hari ini adalah mengenai teknologi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan.
Adanya teknologi ini telah lama menempatkan manusia sebagai pusat pengembangannya, tetapi apakah juga terhadap ideologinya?
Dengan mengutamakan manusia, kita semua ditantang untuk menilai secara kritis mengenai adopsi pola kerja perangkatnya hingga hasil yang didapatkannya.
Bisa jadi kegagapan kita mengenali efektivitas AI sama halnya ketika dulu kita gagap terhadap istilah-istilah anyaran seperti Industri 4.0, Society 5.0, Internet of Things (IoT), Metaverse, dan Big Data.
Istilah yang mengemuka ketika muncul fenomena yang mengarah pada adanya perubahan di era digital.
Kubutuhan kolaborasi manusia dengan AI memiliki potensi yang sangat besar dalam menjembatani kebuntuan terhadap proses sosialisasi dan pembinaan ideologi Pancasila, khususnya di masa depan.
AI sudah seharusnya mampu menyediakan metode pembelajaran yang personal dan adaptif, memungkinkan setiap warga negara untuk belajar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri. Tentu bisa dilakukan di manapun.
Hanya saja, perlu disadari bahwa AI bukanlah entitas yang sepenuhnya mandiri, tetapi alat sekaligus cara yang dirancang oleh manusia sendiri.
Manusia memegang peran penting dalam merancang dan mengatur sistem AI untuk memastikan kebijakan yang berkeadilan, menjunjung etika, inklusif, dan menjamin keamanannya.
Bagaimana dengan ideologi? Meminjam istilah Glen Weyl dan Jaron Lanier, “AI is an Ideology, Not a Technology”, sebagai peneliti di Microsoft, melalui artikelnya menegaskan bahwa AI adalah keyakinan berbahaya yang gagal mengenali hak pilihan manusia.
AI paling baik dipahami sebagai ideologi politik dan sosial daripada sebagai sekeranjang algoritma.
Inti dari ideologinya adalah bahwa rangkaian teknologi, yang dirancang oleh elit teknis kecil, dapat dan harus menjadi otonom dari dan pada akhirnya menggantikan, bukannya melengkapi, bukan hanya manusia individu tetapi sebagian besar umat manusia.
Dalam konteks pembinaan ideologi Pancasila, kemunculan AI harusnya menjadi alat bantu yang baik. Hanya perlu memberikan arah dan pedoman yang tidak hanya konsisten, tetapi tumbuh secara organik seperti proses pembudayaan.
Warga negara harus melakukannya dengan komitmen yang lebih produktif dan dinamis dalam jangka panjang dan bukan lagi top-down.
Namun demikian, sebagaimana teknologi lain, karena AI dalam prosesnya didesain oleh manusia juga, maka paradigma dan algoritma tertentu tetap berlaku. Ini terjadi ketika menjawab isu-isu kontroversial, seperti SARA dan lainnya.
Selain berdasarkan desain pikiran manusia, jawaban-jawabannya menunjukkan bahwa AI sebetulnya juga memiliki “ideologi”, paling tidak dipengaruhi oleh yang mendesainnya atau data yang tersebar di masyarakat.
Oleh karena itu, narasi ideologi Pancasila perlu diperkuat dengan terstruktur, sistematis, dan masif pada wilayah yang mendukung data AI. Tentu juga manusianya.
Redefinisi cara pembinaan
Keterlibatan aktif warga negara dalam menciptakan teknologi dan sistem data, melalui berbagai gerakan kolektif menawarkan pandangan alternatif yang menarik.
Kondisi ini turut memberi penegasan bahwa AI menjadi bagian primer dalam tumbuh kembang teknologi pendidikan, khususnya wilayah pembinaan.
Hal ini tentu memberikan implikasi secara eksplisit terhadap proses sosialisasi dan pembinaan ideologi Pancasila pada masa depan.
Di Indonesia, penggunaan AI masih tergolong baru. Namun, beberapa aplikasi dan platform online telah dibuat untuk membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam berbagai kebutuhan.
Lalu, apakah data dan algoritma AI dapat digunakan untuk pembinaan ideologi Pancasila? Tentu untuk mencapai hal ini, pengambil kebijakan dan warga negara membutuhkan keterampilan yang lebih kuat untuk memanfaatkan dukungan AI secara maksimal.
Pertama, AI pada masa depan dipastikan akan mampu menganalisis efektifitas data kebijakan, materi, dan metodologi pembinaan.
Analisis ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi tren, area atau kewilayahan, segmentasi, dan membantu mengembangkan strategi pembinaan yang lebih efektif.
Misalnya, dengan solusi AI, pelaksana kebijakan dapat dengan cepat mengidentifikasi area atau kewilayahan di mana warga negara kesulitan memahami materi yang disampaikan.
Kedua, AI dapat digunakan untuk menyesuaikan program pembinaan agar tepat dengan preferensi isu-isu aktual yang dihadapi masing-masing warga negara.
Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa semua pemangku kepentingan pembinaan ideologi Pancasila perlu memikirkan tentang cara menggunakan, mengembangkan, dan menerapkan AI secara bertanggung jawab.
Oleh karena itu, tetap penting memadukan penggunaan AI dengan metode konvensional seperti tatap muka.
Sebaliknya, bukan tidak mungkin, penggunaan AI turut menawarkan diharmonisasi dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Sebagai contoh, penggunaan AI dalam algoritma media sosial dapat menciptakan lingkungan yang terfragmentasi, di mana individu hanya terpapar pada pandangan dan informasi yang sesuai dengan kepercayaannya sendiri.
Hal ini dapat mengancam persatuan dan dialog beragam yang diperlukan dalam membangun masyarakat inklusif.
Ternyata, semua tetap kembali kepada manusianya. Maka, apakah manusia akan diganti oleh AI, kenyataan itu mungkin terlalu berlebihan, meski ideologi akan tetap hidup dalam pikiran-pikiran manusia, tak terkecuali Pancasila.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/25/06175371/laju-pancasila-di-antara-pembinaan-dan-kecerdasan-buatan