JAKARTA, KOMPAS.com - Gelombang penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan terus berlanjut. Kali ini, persatuan guru besar yang tergabung dalam Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) melayangkan petisi penolakan RUU Kesehatan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Petisi dilayangkan mengingat ada sejumlah isu yang dinilai berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa. Para guru besar pun mengaku siap berkontribusi dan berkolaborasi dengan DPR serta pihak-pihak terkait untuk memperbaikinya.
"Karenanya, kami mengusulkan RUU ini ditunda pengesahannya dan kemudian dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan," kata Dokter spesialis kandungan dan perwakilan FGBLP, Laila Nuranna Soedirman dalam konferensi pers secara daring, Senin (10/7/2023).
Baca juga: Alasan RUU Kesehatan Dibuat, Menkes: Banyak Dokter Bilang Gap Kita dengan Luar Negeri Jauh
Laila menyampaikan, setelah membaca, menelaah, dan mendiskusikan secara seksama berbasis evidence base tentang RUU Kesehatan, pihaknya mengidentifikasi sejumlah hal serius yang sangat perlu dipertimbangkan.
Pertama, kata Laila, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi azas sosial pembuatan UU, yaitu azas krusial pembuatan undang-undang.
Azas-azas itu di antaranya, asas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis), serta kejelasan rumusan.
"Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai UU Kesehatan yang lebih komprehensif dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Baca juga: Soal Kelanjutan RUU Kesehatan, Jokowi: Itu Wilayahnya DPR
Kedua, menurut FGBLP, tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan.
Diketahui, RUU Kesehatan akan mencabut sembilan UU Terkait kesehatan dan mengubah empat UU Terkait. Padahal, hampir semua UU tersebut dinilai masih relevan digunakan.
"Tidak ditemukan adanya redudansi dan kontradiksi antara satu sama lain. Di saat yang sama, negara kita sedang menyiapkan sebuah hajatan demokrasi yang memerlukan perhatian serius, yaitu Pemilihan Umum," kata Laila.
Ketiga, berbagai aturan dalam RUU Kesehatan berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan Kesehatan bangsa.
Baca juga: Pastikan RUU Kesehatan Pro Nakes, Anggota DPR: Kita Bukan Belain Organisasinya
FGBLP juga menilai sejumlah pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan pada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat.
Di antaranya, hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah abuja declaration WHO. Lalu, munculnya pasal-pasal yang terkait ruang multi-bar bagi organisasi profesi.
Kemudian, adanya kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke Indonesia; implementasi terkait proyek bioteknologi medis termasuk proyek genome yang mengakibatkan konsekuensi pada bio sekuritas bangsa; serta kelima kontroversi terminologi waktu aborsi.
"Kami mohon dan berharap kiranya masukan ini menjadi pertimbangan serius bagi Bapak Presiden dalam menentukan proses selanjutnya dari RUU Kesehatan ini," ujar Laila.
Baca juga: Alasan RUU Kesehatan Dibuat, Menkes: Karena Saat Pandemi, Tak Ada Satupun Negara di Dunia Siap