“Sangat berkaitan sekali ini dengan Pemilu 2024, ini politik transaksi kalau saya membacanya,” ucap Djohan.
Lewat revisi UU Desa, anggota DPR sebagai pembuat UU seolah tengah bertransaksi, menukar pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk memperluas kekuasaan kades, dengan kepentingan Pemilu 2024.
Djohan mengatakan, kepala desa umumnya punya kekuatan yang besar di wilayahnya. Seorang kades mampu memengaruhi pilihan politik warga desa.
Oleh karenanya, bukan tidak mungkin UU Desa ini dijadikan senjata buat DPR menagih “imbalan” ke kepala desa kaiatannya dengan dukungan politik untuk pemilu.
“Bahwa nanti kami (anggota DPR) sudah kasih nih Anda (kepala desa) masa jabatan, kasih kekuasaan, kasih macam-macam dana, dan juga untuk tambahan penghasilan Anda, pokoknya Anda sejahtera Pak Kades, tapi tolong kami dibantu dengan suara (saat pemilu),” tutur Djohan.
Atas kemungkinan ini, Djohan khawatir transaksi politik lewat revisi UU Desa akan mengganggu jalannya Pemilu 2024.
“Ini akan bikin gaduh pemilu. Bisa jadi nanti di video-video Pak Kades mengarahkan warga untuk memilih partai tertentu, caleg (calon legislatif) tertentu, pasangan capres (calon presiden) tertentu. Itu kan mengurangi kualitas demokrasi kita, kualitas pemilu kita, efeknya bisa panjang kemana-mana,” katanya.
Baca juga: Teriakan Siap Dipilih Kembali Terdengar Saat Rapat Pleno Baleg Sahkan Draf RUU Desa
Menyikapi potensi bahaya tersebut, Djohan menilai, tata kelola pemerintahan desa perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum merealisasikan perpanjangan masa jabatan kades.
Penguatan pengawasan itu misalnya, menempatkan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai sekretaris desa (sekdes).
Biasanya, sekdes dipilih dari orang dekat yang membantu kepala desa saat pemilihan. Menurut Djohan, hal demikian menutup celah pengawasan, utamanya dalam hal penggunaan anggaran.
Sekdes umumnya tak kuasa menolak perintah kades, sekalipun hal itu menyalahi aturan. Sebab, menolak perintah kades bisa berujung pada pencopotan jabatan sekdes.
“Jadi harus kasih sekdes yang profesional, kompeten, yaitu PNS,” ujar Djohan.
Bersamaan dengan itu, kata Djohan, pengawasan kepala desa oleh lembaga di atasnya harus diperkuat.
Secara struktural, pengelolaan pemerintahan desa mestinya diawasi oleh inspektorat di pemerintah kecamatan dan kabupaten. Namun, fungsi itu kerap tak berjalan maksimal karena beban inspektorat yang begitu besar dalam mengawasi lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.
Baca juga: Ketimbang Revisi UU Desa, DPR Didesak Fokus Bahas RUU Perampasan Aset
Sementara, Djohan menyebutkan, Badan Permusyawaratn Desa (BPD) yang sedianya bisa menjadi pengawas jalannya pemerintah desa justru dikooptasi oleh pemerintahan desa itu sendiri.
“Perkuat itu dulu, bikin inspektorat itu punya perangkat sampai ke kecamatan, taruh pengawas keuangan desa di kecamatan. Setiap kecamatan ada pengawas keuangan desa yang mengerjakan tugas, termasuk memeriksa keuangan kepala desa,” katanya.
Djohan pun mendorong Presiden Joko Widodo untuk menunda persetujuan pengesahan revisi UU Desa. Menurutnya, ada banyak hal yang harus lebih dulu dibenahi sebelum menambah masa jabatan kepala desa.
“Pemerintah sebaiknya bilang ke DPR bahwa kami belum bisa membahas (revisi UU Desa), kami mau melakukan evaluasi dulu terhadap RUU ini secara menyeluruh,” tutur mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.