“Kita 6 tahun masa jabatan katakan sudah melampaui, sekarang dibuat jadi 9 tahun. Itu lama berkuasa besar, potensi penyimpangannya juga besar,” katanya.
Djohan pun menilai, penambahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun rawan menimbulkan penyimpangan. Menurut dia, potensi korupsi semakin terbuka lebar jika kepala desa diberi kekuasaan dalam kurun waktu yang panjang.
“Menyebabkan tata kelola governance dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif, bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsilah,” katanya.
Situasi ini diperumit dengan minimnya kompetensi kepala desa dalam mengelola administrasi daerah. Namun, hal ini sulit dihindari lantaran kepala desa merupakan jabatan politis yang ditentukan oleh rakyat.
Demikian pula dengan perangkat desa, umumnya adalah orang-orang yang sebelumnya turut mensukseskan kepala desa dalam pemilihan, tapi miskin pengetahuan pengelolaan pemerintahan.
“Jadi kompetensi kemampuan administratif boleh dikatakan lemah. Padahal ini menyangkut tata kelola. Jadi kekuasaan yang lama, 9 tahun, miskin kompetensi,” ucap Djohan.
Menurut Djohan, revisi UU Desa hanya mengutamakan kepentingan kades, bukan warga desa. Sebab, tampak jelas bahwa poin-poin yang direvisi dalam undang-undang ini bakal memperluas sekaligus memperkuat kekuasaan kades.
“Jadi ini adalah betul-betul undang-undang yang saya bilang untuk kepala desa, bukan untuk rakyat desa,” ujarnya.
Salah satu upaya melanggengkan kekuasaan itu dituangkan dalam pasal yang mengatur penambahan masa jabatan kades menjadi 9 tahun. Dalam revisi UU Desa diatur pula penghasilan tetap dan tunjangan-tunjangan untuk kepala desa, termasuk uang pensiun.
Baca juga: Revisi UU Desa, Apdesi Minta Dana Desa 10 Persen dari APBN
Bahkan, pembuat UU mengusulkan untuk menambah besaran dana desa dari Rp 1 miliar per tahun setiap desa, menjadi Rp 2 miliar.
Menurut Djohan, kepentingan kepala desa dalam revisi UU Desa terlihat jelas sejak awal. Kepala desa-lah yang sedari awal menyuarakan penambahan masa jabatan lewat revisi UU ini.
Bahkan, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh kades di berbagai wilayah untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.
Sampai-sampai, kepala desa terang-terangan mengancam akan menggembosi suara rakyat desa pada Pemilu 2024 jika tuntutan mereka tak dikabulkan.
“Kepala desa kok minta masa jabatan diperpanjang itu gimana, mana etikanya?” ujar Djohan.
Revisi UU Desa ini pun dinilai kental akan nuansa politik transaksional. Pasalnya, prosesnya dikebut jelang gelaran Pemilu 2024.