Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

18 Tahun Silam, Awal “Perang Dingin” SBY-Megawati Dimulai…

Kompas.com - 22/06/2023, 12:35 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir dua dekade hubungan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) renggang. “Perang dingin” seolah terjadi di antara keduanya.

Selama belasan tahun, perjumpaan Megawati dan SBY bisa dihitung jari. Keduanya hanya bertemu di acara-acara resmi, itu pun hanya berjabat tangan dan bertegur sapa sebentar sebelum akhirnya melanjutkan kegiatan masing-masing.

Kabarnya, ketegangan di antara keduanya bermula dari rivalitas politik jelang Pemilu 2004. Sebelum itu, SBY merupakan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di Kabinet Gotong Royong, kabinet yang dipimpin Megawati.

Baca juga: Usai Pertemuan AHY-Puan, SBY Cerita soal Mimpi Naik Kereta Api Bareng Jokowi dan Megawati

Namun, keduanya lantas bersaing di panggung Pemilu Presiden (Pilpres) 2004. Secara mengejutkan, SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi dengan perolehan suara 60,62 persen berbanding 39,38 persen.

Megawati pun mau tak mau menyerahkan tongkat kepemimpinannya ke SBY. Sejak saat itu hingga 10 tahun lamanya, Mega dan PDI-P berada di luar pemerintahan sebagai oposisi.

Awal mula

Asal muasal friksi antara SBY dan Megawati baru-baru ini diungkap oleh politikus senior PDI-P, Panda Nababan. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2005. Saat itu, SBY belum genap setahun berkuasa, pun Mega belum setahun turun tahta.

Menurut Panda, kala itu Mega menugaskan dirinya menemui SBY. Sebab, orang yang diutus SBY untuk bertemu Mega tak berhasil mempertemukan dua elite politik tersebut.

“18 tahun yang lalu Megawati menugaskan saya berbicara dengan Presiden SBY di Istana dalam satu malam, di mana sebelumnya utusan-utusan dari Presiden SBY untuk meminta Mega kapan waktunya mereka berdua bertemu, itu tidak ada kepastian,” ungkap Panda dalam program Kompas Petang Kompas TV, Selasa (20/5/2023).

Baca juga: Saat Megawati dan SBY Kompak Titip Pesan untuk Pertemuan 4 Mata Puan-AHY...

Kepada Panda, Megawati menitipkan lima pertanyaan untuk disampaikan ke SBY. Isinya, terkait pencalonan SBY sebagai presiden pada Pemilu 2004 hingga pembentukan Partai Demokrat.

Panda pun mengungkap tiga dari lima pertanyaan yang dititipkan Mega untuk SBY lewat dirinya. Pertama, apakah SBY pernah mengatakan keinginannya menjadi wakil presiden pendamping Megawati.

Kedua, Megawati bertanya, apakah SBY menggunakan kantor Polkam saat itu untuk membentuk Partai Demokrat.

Ketiga, Mega menanyakan, apakah SBY ingat pernyataannya dalam sidang kabinet yang mengaku tak akan mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2004.

Megawati bilang, jika saja lima pertanyaan itu mendapat jawaban, dirinya bersedia bertemu langsung dengan SBY. Mega, kata Panda, hanya mengharapkan keterbukaan SBY.

Baca juga: Jejak Perjumpaan dan Jabat Tangan SBY-Megawati di Tengah Perang Dingin...

Namun demikian, Panda menyebut, tak satu pun pertanyaan titipan Mega tersebut dijawab oleh SBY. Bermula dari sinilah, hubungan Mega dan SBY renggang.

“Mega mengatakan ke saya, dia akan bertemu dengan SBY kalau dijawab semua pertanyaan itu,” ujar Panda.

“Waktu saya ajukan lima pertanyaan itu, lima itu tidak ada dijawab itu sampai sekarang. Itu terus terang saja menjadi bom waktu, 18 tahun mereka tidak pernah duduk bersama kongko-kongko atau ngobrol,” tuturnya.

Pada saatnya nanti…

Keretakan hubungan antara Megawati dan SBY terus berlanjut hingga akhirnya PDI-P kembali merebut kemenangan dan mengantarkan Joko Widodo-Jusuf Kalla ke kursi presiden dan wakil presiden RI lewat Pemilu 2014.

Sekira sebulan sebelum Jokowi-JK dilantik, SBY sempat mencurahkan keluh kesahnya karena tak berhasil bertemu dengan Megawati untuk membahas soal kebersamaan di DPR.

Saat itu, 30 September 2014, SBY mengaku sempat bertemu dengan Jokowi dan Hatta Rajasa di Istana Negara. Namun, dia menyiratkan kekecewaan karena upayanya untuk ‘mendekati’ Megawati gagal.

“Pertemuan dengan Pak Jokowi berlangsung baik. Ketika PDI-P inginkan kebersamaan di DPR saya sampaikan pertemuan SBY-Mega penting,” cuit SBY melalui akun Twitter resminya, @SBYudhoyono kala itu.

“Saya mendengar nanti pada saatnya Bu Mega akan ‘menerima’ saya,” tulis dia lagi.

Sebaliknya politisi senior PDI-P Pramono Anung mengeklaim, pertemuan kedua elite politik tersebut gagal justru karena SBY menolak menerima utusan Megawati kala itu, yakni Jokowi, Jusuf Kalla, Puan Maharani, dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.

Hampir masuk koalisi

Di tengah hubungan Megawati dan SBY yang tak harmonis, Partai Demokrat sempat hendak bergabung ke gerbong partai politik pengusung Jokowi pada kontestasi Pilpres 2019.

Namun, wacana Tersebut batal, hingga akhirnya partai berlambang bintang mercy itu memilih untuk merapatkan barisan ke kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Baca juga: Pada Saatnya Bu Mega Akan Terima Saya, Momen SBY Menanti Rujuk dengan Megawati

SBY mengakui bahwa alasan partainya tak bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi karena hubungannya dengan Megawati belum pulih.

“Masih ada jarak. Masih ada hambatan di situ. Saya harus jujur, belum pulih, masih ada jarak,” ucap SBY dalam konferensi pers 25 Juli 2018.

Padahal, kata SBY, Jokowi kala itu dengan tangan terbuka menerima Demokrat jika ingin bergabung mendukung pencapresannya.

“Saya selalu bertanya, ‘Apakah kalau Demokrat ada dalam koalisi, partai-partai koalisi itu bisa terima kami?’. ‘Ya bisa, karena presidennya saya’,” tutur SBY menirukan percakapannya dengan Jokowi.

Sinyal rekonsiliasi

Belakangan, PDI-P dan Demokrat tampak akrab. Ketua DPP PDI-P yang juga putri Megawati, Puan Maharani, bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat yang juga putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pada Minggu (18/6/2023).

Perjumpaan keduanya pun memunculkan dorongan untuk mempertemukan Megawati dengan SBY.


Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) bertemu dengan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani (kiri) di Hutan Kota Plataran, Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (18/6/2023).Instragam @agusyudhoyono. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) bertemu dengan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDI-P) Puan Maharani (kiri) di Hutan Kota Plataran, Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (18/6/2023).

SBY sendiri usai pertemuan Puan dan AHY sempat mencuitkan tentang dirinya yang bermimpi naik kereta bersama Mega. Dalam mimpi itu, ada juga Presiden Jokowi.

“Saya bermimpi, di suatu hari Pak Jokowi datang ke rumah saya di Cikeas untuk kemudian bersama-sama menjemput Ibu Megawati di kediamannya. Selanjutnya, kami bertiga menuju Stasiun Gambir,” tulis SBY dalam akun Twitter resmimya, @SBYudhoyono, Senin (19/6/2023).

Setelah itu, kata SBY, dalam mimpinya, dia, Jokowi, dan Megawati naik kereta bersama Presiden ke-8 RI. Namun demikian, SBY tak menyebutkan siapa figur presiden tersebut.

“Di Stasiun Gambir, sudah menunggu Presiden Indonesia ke 8 dan beliau telah membelikan karcis kereta api Gajayana ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena masih ada waktu, sejenak kami berempat minum kopi sambil berbincang-bincang santai,” ungkap dia.

Dalam perjalanan tersebut, SBY, Jokowi dan Megawati pun menyapa rakyat yang pernah mereka pimpin.

Baca juga: Sinyal Rekonsiliasi SBY untuk Megawati, Akankah Bersambut?

Terakhir, masih dalam mimpinya, SBY menceritakan bahwa ia dan Jokowi berhenti di Solo, Jawa Tengah. Lalu, SBY melanjutkan perjalanan ke Pacitan dengan bus.

“Sedangkan Ibu Megawati melanjutkan perjalanan ke Blitar untuk berziarah ke makam Bung Karno,” imbuh dia.

Terkait ini, Panda Nababan mengatakan, pintu rekonsiliasi antara Megawati dan SBY terbuka lebar. Menurutnya, Mega bukan sosok pendendam sehingga dia telah memaafkan peristiwa politik belasan tahun silam itu.

“Mega sendiri pernah mengatakan ke saya, ‘Panda, saya memaafkan itu, tapi tidak melupakan itu’. Peristiwa itu bagi Mega sakit sekali,” ucap Panda.

Memang, lanjut Panda, belakangan PDI-P dan Demokrat tampak hangat. Namun demikian, kehangatan itu dinilai bukan sebagai sinyal koalisi untuk Pemilu 2024 mengingat PDI-P dan Demokrat sudah punya bakal capres jagoan masing-masing.

PDI-P didukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Hanura hendak mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres.

Sedangkan Demokrat bersama Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan bakal mencapreskan Anies Baswedan.

“(Koalisi) jauh api dari panggang. Bagaimana mau mengabaikan PKS, Demokrat, dan kemudian Nasdem,” tutur Panda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Nasional
Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Nasional
Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Nasional
Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Nasional
Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Nasional
Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke 'Crazy Rich Surabaya'

MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke "Crazy Rich Surabaya"

Nasional
Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com