JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus dugaan pemerkosaan terhadap seorang remaja perempuan, RO (16), di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menjadi sorotan setelah polisi justru menyampaikan pendapat berbeda tentang delik pidana terhadap para terduga pelaku.
RO dilaporkan diperkosa oleh 11 lelaki dalam kurun waktu April 2022 sampai Januari 2023.
Para terduga pelaku disebut terdiri dari guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, pengangguran, termasuk seorang anggota Brimob.
Kasus tersebut terungkap setelah korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023.
Baca juga: Kondisi Terkini Anak 16 Tahun Korban Perkosaan di Parimo Sulteng, Dokter Akan Angkat Rahim Korban
Saat melapor, RO didampingi oleh ibu kandungnya. Terbaru, polisi menyampaikan bahwa peristiwa yang menimpa RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan di bawah umur.
Alasannya, tindakan para tersangka tidak dilakukan secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming.
Korban melapor ke Polres Parigi Moutong pada Januari 2023 lalu setelah mengalami sakit pada bagian perut.
Korban menyampaikan bahwa tindakan para tersangka dilakukan di tempat yang berbeda-beda selama 10 bulan.
"Ini bukan kasus pemerkosaan, tetapi kasus persetubuhan anak di bawah umur," kata Kapolda Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho, dikutip dari Antara.
Dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia terdapat perbedaan makna dari perbuatan pemerkosaan dan persetubuhan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, hukuman dari tindak pemerkosaan diatur dalam Pasal 285.
“Seseorang yang melakukan ancaman kekerasan atau kekerasan dengan memaksa wanita bersetubuh di luar perkawinan dengannya, maka diancam pemerkosaan dengan penjara maksimal 12 tahun,” demikian isi Pasal 285 KUHP.
Dalam pasal itu disebutkan yang dimaksud pemerkosaan adalah memaksa dan melakukan kekerasan terhadap seorang perempuan untuk melakukan hubungan badan di luar perkawinan.
Motif pemerkosaan pun beragam seperti dorongan seksual, ketergantungan pelaku dengan korban, pelampiasan amarah pelaku kepada korban, atau terjadi situasi intim antara pelaku dan korban yang membuat pelaku melakukan pemaksaan.
Sedangkan persetubuhan terjadi karena adanya bujuk rayu dan tanpa terjadi paksaan dan ancaman kekerasan.
Akan tetapi, di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tidak dikenal delik persetubuhan.
Di samping itu, korban RO yang tergolong anak di bawah umur dianggap belum bisa memberikan persetujuan untuk sebuah tindakan seksual.
Baca juga: Kasus Pemerkosaan ABG 16 Tahun Disebut Persetubuhan, Kompolnas: Polisi Serba Salah
Maka dari itu di dalam hukum di Indonesia belum dikenal istilah suka sama suka atau dengan persetujuan/seizin (konsensual) terhadap persetubuhan atau pencabulan terhadap anak.
Akan tetapi, di dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak diatur tentang sanksi atas perbuatan eksploitasi terhadap anak yang bertujuan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak demi mencapai keuntungan pribadi atau golongan.
Bentuk eksploitasi terhadap anak pun terbagi 2, yakni seksual dan ekonomi.
Eksploitasi seksual merupakan penyalahgunaan posisi rentan, kekuasaan memengaruhi atau memanfaatkan kepercayaan seorang anak.
Tujuan dari eksploitasi seksual terhadap anak adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi, sosial, atau politik dari eksploitasi anak dan kepuasan seksual pribadi.
Contoh dari eksploitasi seksual adalah pelacuran anak, perdagangan anak, pornografi anak, perbudakan seksual anak dan lain-lain.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.