Apalagi dengan derasnya arus informasi yang tidak lagi memandang adanya batas antar negara membuat berbagai ideologi bebas berkeliaran tanpa batas.
Tidak menutup kemungkinan dogma-dogma luar yang bertentangan dengan Pancasila justru mereka hafal dan pahami dengan seksama dan parahnya lagi diamalkan dengan keyakinan yang utuh.
Kita perlu alat ukur yang efektif agar nilai-nilai Pancasila itu benar-benar menyatu dalam jiwa, pikiran, dan perilakunya.
Jangan sampai kita terbuai dengan ucapan-ucapan di bibir yang mengakui diri sebagai generasi berkarakter Pancasila, namun ternyata jiwa-jiwanya sudah tertanam sangat dalam hakikat-hakikat radikalisme dan intoleransi.
Jangan sampai kita terpana dengan slogan-slogan persatuan yang didendangkan dalam setiap percakapan, namun benih-benih kapitalisme tumbuh subur dalam kesehariannya.
Jangan sampai kita terkesima dengan status-status sosial media yang memperlihatkan kehangatan akan persaudaraan, namun di balik itu nilai-nilai kemanusiaannya sudah terkikis sempurna.
Medio Mei lalu, kurang dari 15 hari menjelang peringatan hari lahir Pancasila 2023, Setara Institute merilis hasil survei yang di antaranya menemukan mayoritas atau sebesar 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas yang menjadi respondennya, memiliki persepsi bahwa
Pancasila bukan ideologi permanen, artinya bisa digantikan.
Senada dengan hasil survei itu, data pada sistem informasi terkait kekerasan terhadap anak yang dimiliki oleh Kementerian PPPA menunjukkan ada 57,2 persen usia anak yang menjadi korban kekerasan dan 17,4 persennya menjadi pelaku kekerasan tersebut.
Padahal Pancasila menginginkan terwujudnya kemanusian yang adil dan beradab.
Pada sisi lain, anak-anak yang menghuni rumah tangga miskin dan kemudian dilanjutkan pada keterbatasan akses pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak masih menghiasi problema bangsa. Padahal Pancasila menginginkan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mereka juga melihat dengan seksama adegan-adegan elite bangsa yang sepertinya sulit untuk bersatu. Hanya karena perebutan kursi kekuasaan melahirkan perpecahan.
Bukan saling memberikan dukungan, sebaliknya yang hadir hanyalah upaya-upaya saling menjatuhkan.
Kisah atas tindak-tindak kecurangan juga sangat gamblang terlihat dan terdengar olehnya. Hukum (termasuk hukum Tuhan) seperti sudah tidak lagi menjadi pedoman. Padahal, mereka diajarkan tentang persatuan, demokrasi, dan konsep ketuhanan.
Semangat pemerintah melalui BPIP dan Kemendikbud Ristek yang sepakat menghidupkan kembali pendidikan Pancasila sebagai bahan ajar utama dalam kurikulum sekolah perlu kita apresiasi.
Akan tetapi, satu hal penting yang harus diciptakan segera adalah memberikan rujukan yang kuat. Rujukan yang tidak sebatas pada mata pelajaran, seminar-seminar, atau pelatihan-pelatihan semata.
Lebih penting dari itu semua adalah memberikan rujukan berupa profil-profil yang bisa diteladani, baik itu sosok-sosok pribadi, contoh keluarga, organisasi atau kelompok-kelompok yang memang telah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara utuh.
Sekarang siapa profil-profil terkini yang harus menjadi rujukan anak-anak itu? Agar mereka benar-benar merasa dan percaya bahwa Pancasila itu bisa hadir untuk semua.
Sebagaimana lirik-lirik akhir senandung lagu Pancasila Rumah Kita dari mendiang Franky Sahilatua ini:
Untuk semua puji namanya
Untuk semua cinta sesama
Untuk semua warna menyatu
Untuk semua bersambung rasa
Untuk semua saling membagi
Pada setiap insan, sama dapat sama rasa
Oh Indonesiaku, oh Indonesia