JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap pemerintah yang menyatakan hanya mau mengakui tetapi tidak akan menyampaikan permintaan maaf atas 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu dinilai sebagai bentuk penyelesaian yang semu.
"Pada dasarnya, pengakuan tanpa dibarengi dengan permintaan maaf, pertanggungjawaban dan akuntabilitas negara dalam menyelesaikan kasus itu hanya semu dan tidak dapat memberikan keadilan bagi korban," kata Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, dalam keterangan pers yang dikutip pada Minggu (7/5/2023).
Menurut Fatia, permintaan maaf dari negara terhadap para korban dan ahli waris 12 kasus pelanggaran HAM penting sebagai wujud perbaikan hubungan secara simbolis.
Selain itu, lanjut Fatia, permintaan maaf merupakan awal dari upaya mengakui kesalahan dengan sungguh serta menempatkan korban sebagai pihak yang telah dirampas haknya dan harus dihormati.
Baca juga: Mahfud: Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Ada 12, Tidak Bisa Ditambah
Selain itu, kata Fatia, pengakuan dan permintaan maaf dari negera kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu harus ditindaklanjuti dengan prosedur lain.
"Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan serangkaian tindakan politik lainnya seperti mengembalikan hak-hak korban dan keluarga korban serta tindakan hukum dengan mengadili para terduga pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu," ucap Fatia.
Fatia mengatakan, KontraS mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, yang menyatakan tidak ada permintaan maaf dari pemerintah atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pernyataan itu disampaikan Mhafud dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan usai rapat membahas kelanjutan penyelesaian pelanggaran HAM berat non-yudisial bersama Presiden pada Selasa (2/5/2023).
Baca juga: Mahfud Tegaskan Pemerintah Tak Akan Minta Maaf Atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
"Kami menilai, pernyataan tersebut secara terang menunjukan wajah arogansi negara atas luka dan dosa yang telah ditorehkan kepada para keluarga korban Pelanggaran HAM Berat masa lalu," ucap Fatia.
Sebelumnya diberitakan, Mahfud menyatakan pemerintah tidak meminta maaf atas 12 kasus pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi penyelesaian non yudisial.
"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).
"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," tegasnya.
Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku. Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.
Baca juga: Mahfud MD: Kami Tak Cari Pelaku Kasus Pelanggaran HAM Berat
"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.
"Dan Komnas HAM merekomendasikan 12 yang terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Nah saya ingin masyarakat paham perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan kejahatan berat," katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga menegaskan bahwa pemerintah tidak mencari pelaku dalam proses penyelesaian non yudisial untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebab pemerintah sudah memutuskan adanya penyelesaian non yudisial yang lebih menitikberatkan kepada korban.
"Jadi ini titik beratnya pada korban, bukan pada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini. Karena itu urusan Komnas HAM dan DPR," tuturnya.
Baca juga: Kontras Desak Pemerintah Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Lewat Proses Hukum
Mahfud menjelaskan, apabila menyangkut pelakunya, maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian secara yudisial (hukum).
"Nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah," tegas Mahfud.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Hal itu disampaikannya setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi menyatakan, sudah membaca secara seksama laporan tersebut.
"Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM yang berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi.
Atas peristiwa itu, Jokowi mengaku menyesalkannya.
Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah:
(Penulis : Dian Erika Nugraheny | Editor : Dani Prabowo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.