Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amnesty Internasional: Tak Ada Permintaan Maaf Berarti Negara Tidak Akui Kesalahan Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 05/05/2023, 23:38 WIB
Singgih Wiryono,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Amnesty Interasional Indonesia menilai sikap pemerintah yang tidak mau meminta maaf kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bentuk negara tidak mengakui adanya kesalahan yang terjadi di masa lalu.

Padahal, menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, permintaan maaf adalah salah satu penyesalan yang penting dari negara atas pelanggaran HAM berat yang telah terjadi.

"Dengan tidak adanya permintaan maaf, berarti negara tidak mengakui adanya kesalahan, dan pelanggaran HAM berat masa lalu berpotensi terulang kembali," ujar dia dalam keterangan tertulis, Jumat (5/5/2023).

Pernyataan Usman Hamid tersebut berkaitan dengan sikap pemerintah yang menyebut tidak akan meminta maaf kepada para korban dan penyintas.

Baca juga: Jokowi Didesak Minta Maaf kepada Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Usman mengatakan, permintaan maaf kepada korban adalah salah satu bentuk reparasi yang wajib diberikan negara pada korban pelanggaran HAM.

Dia mencontohkan beberapa negara yang melakukan permintaan maaf untuk menarik batas demarkasi masa lalu dan masa kini karena kasus pelanggaran HAM.

Di Chili misalnya, Presiden Patricio Alwyn meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Di Australia, Perdana Menteri Kevin Rudd juga meminta maaf kepada masyarakat Aborigin dan Selat Torres, terutama Generasi yang Hilang (Stolen Generation), atas pemisahan paksa yang dilakukan pemerintah Australia. Bahkan Raja Belanda Willem Alexander meminta maaf kepada masyarakat Indonesia yang jadi korban kekejaman kolonial Belanda masa lalu," ujar dia.

Baca juga: Jokowi Pilih Naik Mobil ke Lampung Tengah, Gubernur Arinal Bingung Tanya ke Warga Nama Daerahnya

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan pemerintah tak akan meminta maaf kepada para korban.

Mahfud mengatakan, pemerintah tidak melakukan itu karena tidak ada dalam rekomendasi yang dibuat oleh tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu (TPPHAM) kepada pemerintah.

"Di dalam rekomendasi penyelesaian non yudisial itu tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu. Tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/4/2023).

"Jadi tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap itu berlaku sebagai ketetapan yang tidak dapat diubah," kata dia.

 

Selain itu, peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diputuskan oleh pengadilan juga tetap berlaku.

Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 12 peristiwa.

"Dan peristiwa itu tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang (UU) menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan itu adalah Komnas HAM," ungkapnya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Menparekraf Ikut Kaji Pemlokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemlokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi May Day, Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi May Day, Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Pakai Dana Kementan untuk Pribadi dan Keluarga, Kasus Korupsi SYL Disebut Sangat Banal

Nasional
'Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?'

"Brigadir RAT Sudah Kawal Pengusaha 2 Tahun, Masa Atasan Tidak Tahu Apa-Apa?"

Nasional
Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Prabowo: Selamat Hari Buruh, Semoga Semua Pekerja Semakin Sejahtera

Nasional
Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Peringati Hari Buruh Internasional, Puan Tekankan Pentingnya Perlindungan dan Keadilan bagi Semua Buruh

Nasional
Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Pertamina Bina Medika IHC dan Singhealth Kolaborasi Tingkatkan Layanan Kesehatan

Nasional
Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Prabowo Diprediksi Tinggalkan Jokowi dan Pilih PDI-P Usai Dilantik Presiden

Nasional
Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: 'Skincare' Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Daftar Aliran Uang Kementan ke SYL dan Keluarga: "Skincare" Anak, Ultah Cucu, hingga Bulanan Istri

Nasional
Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Jokowi dan Mentan Amran Sulaiman Bersepeda Bareng di Mataram

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com