Dengan kata lain, adanya jaminan kepastian untuk bisa mencari nafkah. Usia produktif biasanya mencari nafkah dengan cara bekerja atau berwirausaha.
Sebagaimana diketahui, 96,5 persen penduduk Indonesia adalah masyarakat pekerja. Yaitu, masyarakat yang menggantungkan nasib hidupnya dengan mencari nafkah sebagai pekerja pada perusahaan atau UMKM. Sedangkan, rasio jumlah wirausaha di Indonesia hanya berkisar 3,47 persen.
Dengan begitu, 96,5 persen penduduk Indonesia (baik angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja) bisa menentukan Presiden Indonesia kedepan. Merupakan kekuatan besar demokrasi untuk menentukan nasib Indonesia kedepan.
Fakta populasi ini adalah lumrah terjadi di setiap negara di dunia. Di mana-mana penduduk di dunia lebih dominan masyarakat pekerjanya.
Namun kekuatan besar demokrasi ini bisa terpecah dan sulit disatukan. Masyarakat pekerja cenderung terjebak isu general dan bombastisnya sebuah jargon yang dipropagandakan oleh Capres.
Ditambah perilaku pemilih lebih cenderung terpola sebagai pemilih emosional dibandingkan pemilih rasional yang kritis. Pemilih lebih tertarik isu-isu sentimen-sentimen SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Sementara menyangkut masa depannya cenderung terabaikan.
Apakah dengan Presiden kedepan bisa memperjuangkan nasibnya dan langkah apa dilakukannya? Namun hal itu cenderung terabaikan oleh hiruk-pikuk jargon-jargon dan fanatisme ketokohan.
Sebenarnya, jika masyarakat menyadari bahwa kelangsungan hidupnya sebagai pekerja mesti diperjuangkan, maka isu ketenagakerjaaan menjadi perhatian besar pada capres yang akan dipilihnya.
Sekalipun digoda dengan duit Rp 100.000 - Rp 200.000 tidak akan memengaruhi pilihannya. Mereka juga tidak akan tenggelam oleh isu-isu dan jargon yang berseliweran memekakan telinga.
Mereka fokus pada visi misi ketenagakerjaan diusung oleh capres-cawapres tersebut. Bagi capres-cawapres yang tidak ada memuat visi-misi ketenagakerjaan, maka masyarakat pekerja pantas tidak memilihnya.
Ada 4 unsur yang menjadi perhatian utama dalam dunia ketenagakerjaan diusung oleh capres-cawapres bila berkuasa.
Pertama, program pembukaan lapangan pekerjaan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Kedua, program peningkatan kompetensi pekerja Indonesia yang berkeahlian.
Ketiga, desain sistem hubungan ketenagakerjaaan generasi baru. Keempat, digitalisasi pelayanan publik ketenagakerjaan.
Tentang visi capres-cawapres pada penyediaan lapangan pekerjaan merupakan kebutuhan dasar penduduk Indonesia. Hal ini penting karena masyarakat masih sulit mendapat pekerjaan.
Angka pengangguran di Indonesia dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat 8,42 juta orang pada Agustus 2022.
Perintah ini penting dilaksanakan presiden sebagai mandat konstitusi UUD 1945, Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 bahwa, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."
Capres harus mempunyai desain dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Semuanya harus by design. Capres tidak boleh menangani dunia ketenagakerjaan berpaham seperti air mengalir lalu mengembangkan dogma mistis bahwa nasib manusia di tangan Tuhan.
Populasi penduduk Indonesia nomor empat terbanyak di dunia, yakni 273,52 juta jiwa. Populasi yang banyak ini bisa menjadi petaka bagi Indonesia bila pemerintah tidak bisa mengelolanya. Namun bisa menjadi karunia bila dikelola dengan benar.
Apalagi pada 2025 - 2045, Indonesia sedang mendapatkan Bonus Demografi, di mana usia produktif lebih banyak daripada usia penduduk non produktif, yaitu 69 persen. Hal ini bisa jadi energi penguat bagi Indonesia untuk menjadi negara berekonomi kuat dan maju.
Pemerintah tidak bisa selalu ketergantungan dengan cara memperbanyak investasi sebagai solusi menyelesaikan angka pengangguran dan membuka luas ketersediaan lapangan pekerjaan. Pendekatan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kualitas dari investasi langsung sepanjang 2022, bahkan dalam 10 tahun terakhir menurun. Hal tersebut terlihat dari jumlah serapan tenaga kerja yang terus ‘loyo’.
Sepanjang Januari-September 2014, serapan tenaga kerja dari investasi sebesar Rp 343 triliun mencapai 960.336 orang. Sementara itu, pada periode yang sama 2022, dari realisasi investasi Rp 892,4 triliun, penyerapan tenaga kerja hanya 965.122 orang.
Presiden kedepan tidak bisa sekadar mengandalkan investasi sebagai kekuatan utama dalam memperluas lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Masih banyak cara lain yang mesti dilakukan pemerintah agar masyarakat bisa produktif dan berpenghasilan memadai.
Tugas ini bagi calon presiden yang kurang menguasai dunia ketenagakerjaan akan sulit untuk mewujudkannya.
Namun calon presiden yang berwawasan luas bisa membuka lapangan pekerjaan secara luas dan menguntungkan negara. Sumber daya manusia yang melimpah merupakan kekayaan suatu negara dan kekuatan buat dunia.
Beberapa negara, seperti Korea Selatan dan Jepang pernah berhasil memanfaatkan bonus demografi menjadi negara berekonomi maju. Sementara, Afrika dan Brasil adalah negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi.
Dalam mendesain SDM pekerja kedepan, pemerintah jangan lagi terjebak dalam diskursus menyatakan pekerja Indonesia memiliki kompetensi rendah. Presiden kedepan harus memandangnya secara komprehensif.
Dalam dunia ketenagakerjaan ada tiga kelompok pekerja dibutuhkan, yaitu kelompok pekerja high skill (tenaga kerja berketerampilan tinggi), kelompok pekerja middle skill (tenaga kerja berketerampilan sedang), dan kelompok pekerja low skill (tenaga kerja berketerampilan rendah). Masing-masing mempunyai segmen pasar kerja sendiri.