Jika Erick beralih ke Prabowo, maka posisi Airlangga Hartarto yang sedang mengincar bangku yang sama di kubu Prabowo akan ikut terganggu.
Artinya, jika Prabowo mengambil salah satu di antara mereka, baik Erick maupun Airlangga, maka salah satu akan berubah menjadi musuh "Jokowi", jika sedari awal tak ada komitmen yang jelas. Sebut saja salah satu akan menyeberang ke Anies Baswedan.
Kehilangan Airlangga di kubu besar Jokowi, baik di kubu Prabowo atau di kubu Ganjar, akan berarti kehilangan Partai Golkar.
Kehilangan Erick Thohir berarti akan kehilangan sumber daya finansial dan back up internasional. Keduanya cukup berisiko bagi Jokowi, terutama jika sumber daya tersebut beralih ke Anies Baswedan.
Di luar tiga nama tersebut, memang ada nama alternatif lain. Sebut saja, misalnya, Andika Perkasa, mantan Panglima TNI, dan Moeldoko, yang saat ini masih menjabat sebagai Kepala Staf Kantor Kepresidenan. Namun masalah dengan kedua nama ini adalah elektabilitas.
Andika Perkasa boleh jadi bisa menawarkan banyak sumber daya dan jejaring nasional serta internasional kepada Jokowi, karena statusnya sebagai menantu dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal ( Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, yang juga pernah menawarkan hal yang sama kepada Jokowi di pemilihan presiden 2014 dan 2019 lalu.
Namun pertanyaan terbaik utama yang harus diajukan sebagai permulaan adalah angka, tepatnya angka elektabilitas. Jika angka tersebut tak hadir dalam jumlah yang signifikan, maka Andika Perkasa tidak akan mengubah permainan.
Apalagi, Andika terbilang belum terikat secara resmi kepada partai manapun, pascapensiun dari dinas kemiliteran.
Begitu pula dengan Jenderal (Purn) Moeldoko. Boleh jadi banyak sumber daya yang bisa ditawarkan oleh Moeldoko, sebut saja sumber daya finansial dan jejaring, baik nasional maupun internasional, plus sedikit peluang dukungan partai, jika Moeldoko memang berhasil memenangkan pertarungan dengan Partai Demokrat versi AHY.
Tapi lagi-lagi, segala dukungan yang diberikan, jika tidak membuka peluang bagi Ganjar Pranowo untuk menguasai mayoritas suara di arena pemilih mengambang, maka Moeldoko hanya akan berkapasitas sama dengan Andika Perkasa secara elektoral.
Karena itulah kedua nama ini masih harus berpikir lebih tajam lagi, jika ingin masuk ke dalam political equation dari capres Ganjar Pranowo.
Nah, sebenarnya jalan terbaik untuk Jokowi agar bisa keluar dari komplikasi opsi calon wakil presiden ini adalah kembali ke jalur elektoral.
Pilihan terbaik bagi Ganjar adalah dipasangkan dengan calon wakil presiden yang paling berpeluang memperbesar ceruk suara Ganjar.
Artinya, Jokowi harus belajar dari kelegowoan Megawati Soekarnoputri dalam memilih Ganjar Pranowo, yakni berdasarkan kalkulasi politik elektoral yang tergambar dari stabilitas raihan elektabilitas kandidat di survei-survei yang ada.
Bedasarkan survei-survei yang ada, Ridwan Kamil (RK) dan Sandiaga Uno adalah dua kandidat calon wakil presiden yang paling layak secara elektoral. Namun dari sisi risiko, Ridwan Kamil jauh tidak berisiko bagi Jokowi ketimbang Sandiaga.
Jika Ridwan Kamil yang kini masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi Jawa Barat; provinsi dengan daftar pemilih tetap (DPT) tertinggi se-Indonesia, dimasukkan ke dalam political equation calon wakil presiden, terutama untuk Ganjar Pranowo, maka Jokowi akan menetralisasi potensi konflik tiga pihak di atas, yakni Sandiaga, Erick, dan Airlangga.
Jika pun salah satu pihak berpindah ke Anies Baswedan, maka dengan kekuatan elektabilitas Ganjar dan RK, potensi kemenangan masih akan berada di kubu Jokowi.
Masalah terpahit dari RK hanya soal Partai Golkar. RK tersandera dengan pilihan politik beberapa bulan lalu, yakni saat RK memilih bergabung dengan Partai Golkar.
Sementara sampai hari ini, Golkar masih konsisten menyuarakan Airlangga sebagai satu nama yang akan dijual di pasar politik nasional, baik sebagai capres maupun cawapres.
Asumsikan bahwa RK dimasukkan ke dalam political equation Ganjar dan RK tidak mampu berdamai dengan Golkar, maka RK masih berpeluang merenggut sebagian kecil suara Golkar di laga nanti, meskipun Airlangga berlabuh di kandidat lain.