MEMBACA relasi politik Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sangatlah menarik.
Tiga tokoh politik itu bisa dibilang “aktor utama” dalam panggung politik Pilpres 2024. Pengaruhnya tentu saja sangat besar bagi sejarah politik demokrasi dan nasib bangsa Indonesia ke depan.
Karena itu, publik juga boleh berharap, serupa “amicus curiae” yang disampaikan sejumlah kalangan kepada hakim MK menjelang sidang putusan sengketa Pilpres 2024. Sebut saja “sahabat Megawati, Prabowo, Jokowi”.
Setidaknya ada sejumlah fakta yang menumbuhkan harapan tertentu terhadap relasi ketiga tokoh utama itu.
Pertama, MK kebanjiran “amicus curiae” (sahabat pengadilan) yang diajukan sejumlah kalangan. Secara umum, “amicus curiae” berisi harapan agar hakim MK mengedepankan keadilan substantif, bukan sekadar “Mahkamah Kalkulator”.
Satu di antara pengirim “amicus curiae” adalah Megawati selaku warga negara, bukan sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sejarah baru, sidang MK kebanjiran “amicus curiae”.
Kedua, MK menolak permohonan pasangan 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan pasangan 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) secara keseluruhan. Namun, putusan MK itu tidak bulat. Tiga dari delapan hakim MK menyatakan “pendapat berbeda” (dissenting opinion).
Tiga hakim itu menilai sebagian dalil pemohon bisa diterima, sehingga MK semestinya memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.
Hakim juga memberi catatan masukan untuk perbaikan sistem, misalnya soal perlunya UU Lembaga Kepresidenan yang disampaikan oleh Arief Hidayat.
Ketiga, pada 24 April 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk masa jabatan 2024 – 2029 sebagai tindaklanjut putusan MK. Prabowo-Gibran tinggal menunggu pelantikan.
Saat penetapan Prabowo dan Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, pasangan 01 hadir dan pasangan 03 tidak hadir. PDIP sebagai partai pengusung pasangan 03 juga tidak mengirim perwakilan.
Keempat, PDIP tetap melanjutkan gugatan terhadap KPU di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang digulirkan sejak 2 April 2024, meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat.
KPU dianggap melawan hukum, karena menerima pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) dan mengesampingkan syarat usia minimum untuk cawapres.
Kelima, pascapenetapan oleh KPU, Prabowo Subianto berkunjung menemui Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem dan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Prabowo disambut dengan digelarkan karpet merah. Surya Paloh dan Muhaimin menyatakan mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
Fakta-fakta tersebut menggambarkan realitas politik demokrasi dalam Pilpres 2024 yang bisa dicapai oleh masyarakat bangsa Indonesia saat ini.
Suka tidak suka, mau tidak mau, Prabowo akan menggantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden ke-8. Gibran akan menggantikan Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden.
Partai Nasdem dan PKB kemungkinan akan bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pun demikian. Tinggal PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang belum jelas posisinya.
PDIP masih akan menunggu Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada 24 – 26 Mei 2024. Di Rakernas itu sikap PDIP akan diputuskan, apakah di luar pemerintahan atau di dalam pemerintahan (Kompas.com, 23/04/2024).