JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai tidak perlu tunduk terhadap permintaan dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) buat melobi para ketua umum partai politik demi memuluskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana.
Jika Jokowi melakukan kompromi politik dengan meminta restu para ketua umum partai politik supaya pembahasan RUU Perampasan Aset tak terhambat malah dinilai memperlihatkan seolah dia tidak berdaulat secara politik.
"Ketidakberdaulatan itu terjadi jika Presiden Jokowi mengambil langkah lobi politik. Justru dia menyatakan dirinya tidak berdaulat, eksekutif tidak berdaulat, pemimpin pemerintahan dan negara yang ditunjuk langsung oleh rakyat menyatakan dirinya tidak berdaulat. Jadi enggak perlulah pakai cara-cara itu," kata Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani, dalam keterangannya saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/4/2023).
Menurut Julius, ketua umum partai politik tidak termasuk dan tidak berwenang di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: RUU Perampasan Aset Mendesak untuk Dibahas dan Diundangkan
Maka dari itu, Presiden Jokowi yang dipilih langsung oleh rakyat harus menunjukkan wibawa secara politik buat mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset demi melindungi rakyat.
"Makanya peran-peran lobi-lobi politik yang digunakan oleh Jokowi itu salah besar. Jadi tidak perlu khawatir jika RUU Perampasan Aset dan kekayaan tak wajar ini betul-betul untuk memberantas korupsi, satu Indonesia pasti dukung penuh," ujar Julius.
Usul supaya pemerintah melobi ketua umum parpol terkait pembahasan RUU Perampasan Aset disampaikan Ketua Komisi III Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul, dalam rapat dengar pendapat dengan Mahfud MD pada 29 Maret 2023 lalu.
"Saya terang-terangan ini. Mungkin RUU Perampasan Aset bisa (disahkan), tapi harus bicara dengan para ketua partai dulu. Kalau di sini enggak bisa, Pak," kata Bambang.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: RUU Perampasan Aset Diyakini Beri Efek Jera Koruptor
Bambang mengaku tak berani mengesahkan RUU Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal jika tak diperintah oleh "ibu".
Politikus PDI Perjuangan itu tak menjelaskan sosok "ibu" yang dia maksud. Hanya saja, dia menegaskan, untuk mengesahkan RUU tersebut, harus ada persetujuan dari para ketua umum partai politik.
"Di sini boleh ngomong galak, Pak, tapi Bambang Pacul ditelepon ibu, 'Pacul berhenti!', 'Siap! Laksanakan!'," kata Bambang.
"Jadi permintaan Saudara langsung saya jawab. Bambang Pacul siap kalau diperintah juragan. Mana berani, Pak," lanjutnya diikuti tawa anggota Komisi III lainnya yang juga hadir dalam rapat.
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, Anggota DPR: Bolanya Masih di Pemerintah
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengatakan, pihaknya belum menerima naskah akademik dan draf (RUU) Perampasan Aset.
Ia menyampaikan, DPR masih menunggu draf RUU yang merupakan inisiatif pemerintah tersebut dikirim ke Senayan.
“Bolanya masih di pemerintah, seberapa cepat RUU itu bisa disahkan untuk saat ini sangat bergantung kecepatan presiden mengirim naskah akademik, dan (draf) RUU-nya ke DPR,” ujar Didik pada Kompas.com, Kamis (6/4/2023).