Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Puasa Napas Peradaban

Kompas.com - 24/03/2023, 08:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RAMADHAN sejatinya merupakan hadiah istimewa yang diberikan Tuhan kepada umat Muslim sedunia.

Bulan yang unik dalam kalender Hijriyah ini pun, telah menubuh dan berurat akar dalam diri setiap orang yang mengimani Islam sebagai agama.

Sepanjang putarannya sejak tandan muda hingga bulat purnama, terkandung pelajaran yang tiada pernah habis digali. Lokus utamanya satu kata belaka: puasa.

Kendati laku puasa bukan berasal dari rahim Islam, namun dalam ranah syariatnya, puasa menawarkan pusparagam khazanah yang mengundang decak kagum jika ditilik secara mendalam.

Al-Qur’an dan Hadits yang diwariskan Nabi Muhammad SAW, menyuguhkan sajian nan lezat yang selalu siap disantap—bahkan oleh siapa saja yang ingin mencicipinya.

Terkait puasa itulah, mari sejenak kita menelaah dunia fauna. Ular dan ulat bisa kita tahbis menjadi teladan dalam menjalani laku puasa Ramadhan.

Secara gematria, para leluhur kita sepertinya sudah menemukan jawaban terlebih dahulu sebelum mereka menamai dua makhluk itu. Keduanya sama disusun dengan empat huruf. Dua huruf vokal, dan dua konsonan—yang bagian belakangnya cuma bertukar antara ‘r’ dan ‘t’.

Salah satu cara ular menjaga kelangsungan hidupnya, yaitu dengan berganti kulit secara berkala.

Sementara untuk menjalankan ritus tersebut, ular tidak serta-merta bisa langsung menanggalkan kulit lamanya begitu saja. Ia harus berpuasa terlebih dahulu dalam kurun waktu tertentu.

Setelah puasa tersebut paripurna, kulit luarnya terlepas dan muncul kulit baru. Namun meskipun ia rajin berpuasa dan mengganti kulit secara periodik, ia tetap sebagai ular dengan tabiat dan kebiasaannya yang sama sejak mula.

Sekarang kita berkenalan dengan sedulur ulat. Dalam kerajaan fauna, ia termasuk hewan yang rakus, karena hampir sepanjang usianya dihabiskan untuk makan.

Namun begitu sudah wayahnya bertugas menjadi ulat, ia akan berpuasa dengan mengasingkan diri. Menjauh dari sumber makanan, lantas membungkus badannya dengan kepompong.

Ia benar-benar berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan haus semata, tetapi mulut, mata, dan anggota tubuh lainnya, juga turut berpuasa.

Setelah berpekan lamanya bertapa, maka keluarlah dari kepompong itu, seekor makhluk baru yang sangat indah, bernama kupu-kupu.

Kini ulat telah malih bentuk, berganti kulit, dan mengalami perubahan mencolok. Baik secara tabiat dan kebiasaannya.

Jika dua makhluk ini kita amati, maka muncul beberapa hal yang bisa dijadikan bahan renungan.

Wajah ular sebelum dan sesudah puasa, tetap sama. Namanya juga tidak berganti. Apa yang ia makan, cara bergerak, tabiat, sifat sebelum dan sesudah puasa, juga sama.

Lain halnya dengan ulat. Wajahnya sesudah puasa, berubah indah memesona. Ia juga beroleh nama baru dari proses memeram diri itu.

Jika sebelum puasa ia senang melahap dedaunan kering yang hampir layu, maka setelah menjadi kupu-kupu, ia boleh menghisap nektar (madu bunga/sari kembang).

Ia pun tak lagi harus menjalar, dan sudah bisa terbang di angkasa. Hinggap dari satu bunga ke bunga lain, membantu penyerbukan. Memunculkan keindahan.

Nah pertanyaannya, jenis puasa siapa yang mirip dengan kita? Sudah berapa lama kita berkarir puasa Ramadhan, sedangkan cara kita mengelola perut masih tak juga berubah?

Butuh berapa Ramadhan lagi untuk membuat kita insyaf betapa menahan makan-minum selama sebulan penuh, mestinya sudah cukup menjadi bekal menjalani usia yang masih tersisa?

Ketahuilah olehmu, wahai Saudaraku, sesungguhnya dalam sepinggan makanan, ada begitu banyak berkah dari Al-Haq-yang gagal kita syukuri.

Dia mengajari kita rasa lapar, agar ketika rasa kenyang muncul, kita tahu betapa keduanya bukan kita yang menentukan.

Karena setelah kenyang, lapar akan datang lagi tepat pada waktu-Nya. Berulangkali, begitu selalu. Dia bersemayam dalam segala sesuatu, melalui serbaneka rupa, indah warna-warni, semerbak wangi aroma, dan tabularasa.

Dalam segelas air yang kita teguk saat bersahur-berbuka, juga masih tersimpan misteri besar yang belum terpecahkan ranah sains sampai sekarang. Ya, para saintis belum juga mafhum bagaimana asal muasal air bisa terbentuk di bumi ini.

Anasir yang antah berantah itu, ternyata menjadi obat dahaga bagi haus kita—yang sebelum melekat di tenggorokan, entah bersemayam di mana.

Sunan Bonang (Haji Bong Bun Liang) dalam Suluk Wujil pupuh 14-15 ngendika;

“Catur prakara anasirneki/bumi geni angin iku toya/samana duk panapele/sipate iku catur/ kahar jalal jamal lan kamil/katrapan sipating Hyang/wowolu kehipun/lampahe punang sarira/ manjing metu yen metu ndi paraneki/yen manjing ndi pernahnya. Empat macam anasir itu adalah: tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut: kahar, jalal, jamal, dan kamal yang mengandung delapan macam sifat Tuhan. Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat itu masuk dan keluar. Jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di mana bersemayamnya?”

Tetumbuhan dan binatang ternak yang menjadi makanan, serta air yang mewujud minuman, mestinya mengajari kita banyak hal sebagai bekal menjalani kehidupan.

Makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang, sama artinya dengan menahan diri. Inilah esensi puasa yang sejati.

Umat Islam diajak berpikir oleh Tuhan untuk menahan diri dari makan-minum sejak shubuh hingga langit gelap, bukan menahan lapar dan hausnya yang sudah pasti muncul sesuka mereka.

Jika peristiwa makan-minum hanya sekadar kebiasaan harian, maka marwah ritusnya pun lenyap. Padahal dari makan-minumlah tubuh kita beroleh asupan protein, gizi, kalsium, vitamin, untuk bertumbuh kembang menuju cahaya.

Tonggak Peradaban Kiwari

Selaku pelanjut homo Sapiens yang berhasil melampaui para pemburu-pengumpul Neandhertal dan Denisovan, kita telah merancang-bangun peradaban yang sama sekali berbeda dengan para pendahulu.

Namun celakanya, pola makan-minum kita rupanya sedang melenceng dari jalur yang mesti ditempuh.

Kita memakan spesies lain dengan sangat rakus, bahkan cenderung membabi buta. Ayam misalnya, yang bisa tumbuh normal hingga usia lima tahun, kita tumpas dalam usia mereka yang masih tiga bulan.

Dengan dalih menjadi penyokong sumber pangan. Padahal karena didasari kerakusan semata.

Domestikasi ayam, kambing, sapi, dan kelinci yang dilakukan oleh Sapiens, berdampak serius pada tubuh yang sekarang kita kenal dengan sebutan obesitas.

Sudah terlalu banyak manusia yang meregang nyawanya lantaran digerogoti kelebihan berat badannya sendiri.

Terkait hal itu, Al-Qur’an sudah mengingatkan kita dengan ayat yang berbunyi, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya” (QS. ‘Abasa [80]: 24).

Dalam beberapa butir Hadits yang salah satunya diriwayatkan Muslim, Rasulullah Muhammad SAW menyitir bahwa, “Sumber dari penyakit adalah perut dan berpuasa itu adalah obat.”

Air juga kita perlakukan dengan semena-mena. Hampir semua kota besar dunia, kini sedang menghadapi ancaman kehabisan air tanah. Pun begitu, ternyata kita tak jua jera.

Beberapa negara seperti China dan Israel, malah menyuling air laut untuk konsumsi harian penduduknya.

Alih-alih menyelesaikan masalah, mereka malah mengabaikannya begitu saja. Lebih gilanya lagi, mereka menguras sumber daya air di permukaan.

Mungkin setengah abad kemudian, udara akan dikondensasi sedemikian rupa untuk diubah menjadi air yang bisa dikonsumsi.

Ada begitu banyak kekacauan peradaban kita yang tak perlu kami nukilkan di sini. Anda bisa menelusurinya sendiri bila ingin tahu lebih jauh, serta ingin memberi sumbangsih bagi persada yang kita hidupi.

Puasa Ramadhan mestinya membawa kita pada suasana samadi; memayu hayu ning bawono, ambrasta dur hangkara (manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak).

Alam raya dibentangkan Tuhan untuk mengabdi pada manusia. Maka sudah sewajarnya bila kita membantu alam untuk menyusun ulang pola kerjanya yang berjalan dalam keharmonisan.

Terlampau banyak hasrat tak terkendali yang kita lepaskan begitu saja, dan menjadi bumerang bagi diri sendiri ketika ia kembali lagi kepada tuannya. Kita juga membuang begitu banyak energi secara percuma. Nyaris tanpa beban dan rasa bersalah.

Produksi karbon yang melewati ambang batas, sudah mulai melubangi ozon di atas kepala kita. Lalu kita tetap melenggang kangkung seolah tak perlu ada yang dikhawatirkan dari kehidupan manusia hari ini.

Sementara pada saat yang sama, Ibu Pertiwi menjerit kesakitan. Megap-megap menahan duka nestapa yang ditorehkan anak-anak kandungnya.

Jikalau sebulan penuh Ramadhan, dijalani oleh umat Muslim sedunia yang berjumlah 1,91 miliar dengan cara yang lebih membumi, niscaya peradaban kita masih mungkin diselamatkan dari kehancuran.

Indonesia yang penduduk Muslimnya mencapai 86,7 persen dari total populasi (270 juta jiwa), juga berpeluang tampil sebagai sokoguru peradaban modern.

Hal ini jadi mungkin karena negara kita persis berada di lintasan Khatulistiwa. Sebagai poros, maklum bila seharusnya kita bisa memberi sumbangan lebih banyak bagi saudara-saudari di belahan negara lain.

Mauritania, Maladewa, dan Arab Saudi, yang penduduk Muslimnya berjumlah 100 persen, tentu harus sanggup berbuat banyak untuk kelestarian spesies kita pada masa mendatang.

Jika Islam menjadi rahmat bagi semesta alam, maka umatnya jadi agen persebaran rahmat itu ke seantero bumi.

Laku berpuasa sejatinya harus mengubah kebrutalan kita mengelola sumber daya alam yang masih tersedia. Memulihkan kerusakan yang telah kita timbulkan. Merancang ulang fondasi peradaban yang lebih mapan dan adekuat.

Sayang betul bila puasa Ramadhan hanya menyisakan lapar-dahaga yang dituntaskan dalam forum berbuka bersama di restoran cepat saji.

Tak cukup puaskah kita merusak diri sendiri? Tak sadarkah bahwa kita sedang berjalan di atas jalan terjal kepunahan yang sedang menanti di depan mata... 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Prabowo Terima Kunjungan Kehormatan Menhan Qatar, Hadiahi Senapan Serbu Pindad

Prabowo Terima Kunjungan Kehormatan Menhan Qatar, Hadiahi Senapan Serbu Pindad

Nasional
Bantah Kabar Retaknya Hubungan Jokowi dan Megawati, Sekjen PDI-P: Sangat Baik, Bagai Ibu dan Anak

Bantah Kabar Retaknya Hubungan Jokowi dan Megawati, Sekjen PDI-P: Sangat Baik, Bagai Ibu dan Anak

Nasional
Survei Indikator: Erick Thohir Ungguli Bursa Cawapres setelah Timnas Indonesia Juara SEA Games

Survei Indikator: Erick Thohir Ungguli Bursa Cawapres setelah Timnas Indonesia Juara SEA Games

Nasional
Survei Indikator: Elektabilitas Anies Turun Sejak Juli 2022

Survei Indikator: Elektabilitas Anies Turun Sejak Juli 2022

Nasional
Kemenag Ingatkan Garuda Jemaah Haji Terlambat Berangkat Bisa Ganggu Tahapan Ibadah

Kemenag Ingatkan Garuda Jemaah Haji Terlambat Berangkat Bisa Ganggu Tahapan Ibadah

Nasional
Kemenag Minta Garuda Indonesia Taati Jadwal Penerbangan Jemaah Haji

Kemenag Minta Garuda Indonesia Taati Jadwal Penerbangan Jemaah Haji

Nasional
Hasil Rakernas Golkar: Airlangga Hartarto Tentukan Capres, Cawapres, dan Koalisi

Hasil Rakernas Golkar: Airlangga Hartarto Tentukan Capres, Cawapres, dan Koalisi

Nasional
Presiden Ucapkan Selamat Hari Waisak, Unggah Karikatur Biksu Thudong yang Disambut Ramah Warga

Presiden Ucapkan Selamat Hari Waisak, Unggah Karikatur Biksu Thudong yang Disambut Ramah Warga

Nasional
Ridwan Kamil Tunggu Arahan Golkar untuk Maju Pilgub DKI Jakarta

Ridwan Kamil Tunggu Arahan Golkar untuk Maju Pilgub DKI Jakarta

Nasional
Sekjen PDI-P Akui Erick Thohir Diusulkan PAN Jadi Cawapres Ganjar

Sekjen PDI-P Akui Erick Thohir Diusulkan PAN Jadi Cawapres Ganjar

Nasional
Sekjen PDI-P Klaim Komunikasi dengan Golkar Makin Intens

Sekjen PDI-P Klaim Komunikasi dengan Golkar Makin Intens

Nasional
Mochtar Pabottingi Meninggal Dunia, JK: Kita Semua Merasa Kehilangan

Mochtar Pabottingi Meninggal Dunia, JK: Kita Semua Merasa Kehilangan

Nasional
Nano Strategi, Cara Ganjar Bidik Suara Gen-Z di Pilpres 2024

Nano Strategi, Cara Ganjar Bidik Suara Gen-Z di Pilpres 2024

Nasional
Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Banyuwangi, Tulungagung, dan Bima

Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Banyuwangi, Tulungagung, dan Bima

Nasional
Ganjar: Bu Mega dan Pak Jokowi Bawa Pemikiran Politik Bung Karno

Ganjar: Bu Mega dan Pak Jokowi Bawa Pemikiran Politik Bung Karno

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com