Nah pertanyaannya, jenis puasa siapa yang mirip dengan kita? Sudah berapa lama kita berkarir puasa Ramadhan, sedangkan cara kita mengelola perut masih tak juga berubah?
Butuh berapa Ramadhan lagi untuk membuat kita insyaf betapa menahan makan-minum selama sebulan penuh, mestinya sudah cukup menjadi bekal menjalani usia yang masih tersisa?
Ketahuilah olehmu, wahai Saudaraku, sesungguhnya dalam sepinggan makanan, ada begitu banyak berkah dari Al-Haq-yang gagal kita syukuri.
Dia mengajari kita rasa lapar, agar ketika rasa kenyang muncul, kita tahu betapa keduanya bukan kita yang menentukan.
Karena setelah kenyang, lapar akan datang lagi tepat pada waktu-Nya. Berulangkali, begitu selalu. Dia bersemayam dalam segala sesuatu, melalui serbaneka rupa, indah warna-warni, semerbak wangi aroma, dan tabularasa.
Dalam segelas air yang kita teguk saat bersahur-berbuka, juga masih tersimpan misteri besar yang belum terpecahkan ranah sains sampai sekarang. Ya, para saintis belum juga mafhum bagaimana asal muasal air bisa terbentuk di bumi ini.
Anasir yang antah berantah itu, ternyata menjadi obat dahaga bagi haus kita—yang sebelum melekat di tenggorokan, entah bersemayam di mana.
Sunan Bonang (Haji Bong Bun Liang) dalam Suluk Wujil pupuh 14-15 ngendika;
“Catur prakara anasirneki/bumi geni angin iku toya/samana duk panapele/sipate iku catur/ kahar jalal jamal lan kamil/katrapan sipating Hyang/wowolu kehipun/lampahe punang sarira/ manjing metu yen metu ndi paraneki/yen manjing ndi pernahnya. Empat macam anasir itu adalah: tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut: kahar, jalal, jamal, dan kamal yang mengandung delapan macam sifat Tuhan. Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat itu masuk dan keluar. Jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di mana bersemayamnya?”
Tetumbuhan dan binatang ternak yang menjadi makanan, serta air yang mewujud minuman, mestinya mengajari kita banyak hal sebagai bekal menjalani kehidupan.
Makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang, sama artinya dengan menahan diri. Inilah esensi puasa yang sejati.
Umat Islam diajak berpikir oleh Tuhan untuk menahan diri dari makan-minum sejak shubuh hingga langit gelap, bukan menahan lapar dan hausnya yang sudah pasti muncul sesuka mereka.
Jika peristiwa makan-minum hanya sekadar kebiasaan harian, maka marwah ritusnya pun lenyap. Padahal dari makan-minumlah tubuh kita beroleh asupan protein, gizi, kalsium, vitamin, untuk bertumbuh kembang menuju cahaya.
Selaku pelanjut homo Sapiens yang berhasil melampaui para pemburu-pengumpul Neandhertal dan Denisovan, kita telah merancang-bangun peradaban yang sama sekali berbeda dengan para pendahulu.
Namun celakanya, pola makan-minum kita rupanya sedang melenceng dari jalur yang mesti ditempuh.
Kita memakan spesies lain dengan sangat rakus, bahkan cenderung membabi buta. Ayam misalnya, yang bisa tumbuh normal hingga usia lima tahun, kita tumpas dalam usia mereka yang masih tiga bulan.
Dengan dalih menjadi penyokong sumber pangan. Padahal karena didasari kerakusan semata.
Domestikasi ayam, kambing, sapi, dan kelinci yang dilakukan oleh Sapiens, berdampak serius pada tubuh yang sekarang kita kenal dengan sebutan obesitas.
Sudah terlalu banyak manusia yang meregang nyawanya lantaran digerogoti kelebihan berat badannya sendiri.
Terkait hal itu, Al-Qur’an sudah mengingatkan kita dengan ayat yang berbunyi, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya” (QS. ‘Abasa [80]: 24).