Proses negosiasi sempat dilakukan oleh International Red Cross (IRC) atau Palang Merah Internasional untuk membebaskan sandera dari OPM.
Lobi-lobi IRC tak membuahkan hasil. OPM di bawah komando Kelly Kwalik ngotot meminta syarat Papua dilepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka.
"Saya minta ubi harus dapat ubi, bukan minta ubi dikasih ketela!" tutur Kelly Kwalik, seraya mengibaratkan kemerdekaan Papua mutlak tak boleh ditawar Indonesia.
Padahal sebelumnya, anggota OPM Daniel Yudas Kogoya yang menyandera awal belasan tersebut, menampilkan sikap kompromis dan lunak dalam negosiasi.
Hanya, Kelly Kwalik mengambil langkah intervensi dan sikap keras kepala. Hingga Mei 1996, sebelas sandera masih ditahan. Penyanderaan memasuki hari ke-120. Beberapa di antaranya mulai terjangkit penyakit seperti malaria maupun tekanan psikis.
Baca juga: Berkaca Kasus Pilot Susi Air, TB Hasanuddin Sebut DPR Perlu Bicara dengan TNI soal Tindakan Terukur
Kamis, 9 Mei 1996, Kopassus di bawah pimpinan Prabowo Subianto menyiapkan operasi militer rahasia. Ada 800 pasukan TNI diterjunkan, bersenjatakan AK dan SSI.
Lima unit helikopter TNI AU diterbangkan menurunkan pasukan guna penyekatan lokasi penyanderaan.
Sebanyak 200 prajurit di antaranya diterbangkan menggunakan helikopter yang disamarkan untuk warga sipil. Kopassus Grup-5 Antiteror siap perang kontra OPM.
Dalam operasi pembebasan itu, dua sandera, Navy Panekanan dan Matheis Y.Lasamalu, tewas dibunuh OPM. Sementara sandera lainnya selamat.
Berkaca dari peristiwa tersebut, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memahami jika upaya penyelamatan pilot Susi Air akan memakan waktu yang cukup panjang.
“Diprediksi bakal memakan waktu yang cukup panjang dan tidak sederhana. Hal ini mengingat bahwa setiap langkah memang harus direncanakan dan disiapkan secara cermat dan terukur,” kata Fahmi saat dihubungi, Senin (20/2/2023) petang.
Baca juga: 13 Hari Disandera KKB, Pilot Susi Air Kapten Philip Disebut Masih Hidup
Fahmi mengatakan, langkah TNI-Polri melalui pendekatan persuasif bisa dipandang sebagai upaya mengalokasikan waktu yang memadai untuk menyiapkan langkah represif.
“Waktu persiapan seperti apa? Tentunya untuk mengumpulkan informasi situasi-kondisi lapangan, mempersiapkan organisasi satuan tugas dan personel yang akan diterjunkan dalam misi, maupun strategi-taktik yang akan dijalankan,” kata Fahmi.
Fahmi juga menyebutkan bahwa peristiwa Mapenduma dan pilot Susi Air tidak bisa disamakan begitu saja. Setiap peristiwa memiliki kesulitan masing-masing.
“Yang jelas, kita tidak bisa begitu saja membandingkan dengan pengalaman sebelumnya. Setiap kasus punya kesulitan, kerumitan masing-masing. Begitu juga peluang dan risikonya,” kata Fahmi.