Philips yang merupakan warga negara Selandia Baru, bersama lima penumpang lainnya, hilang kontak sesaat setelah mereka mendarat di Bandar Udara Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, pada Selasa (7/2/2023).
Pesawat dengan nomor registrasi PK-BVY itu dibakar oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya sesaat usai mendarat.
Lima penumpang yang merupakan orang asli Papua (OAP) telah dievakuasi dan kembali ke rumah masing-masing. Sementara Philips masih dibawa oleh KKB.
Dalam video yang tersebar di media sosial, KKB menyandera Philips guna menjadi alat negosiasi Papua bisa merdeka.
“Kami bawa pilot ini karena Indonesia tidak pernah mengakui Papua Merdeka, jadi kami tangkap pilot. Karena semua negara harus buka mata soal Papua Merdeka," kata salah satu orang dari KKB dalam video yang diterima Kompas.com.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah tidak akan bernegosiasi soal permintaan KKB.
Mahfud pun mengatakan, pemerintah akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Tidak ada negosiasi soal itu dan kami akan mempertahankan serta memberantas setiap gerakan yang ingin mengambil bagian secuil pun dari NKRI. Itu saja," kata Mahfud di Gedung Nusantara II Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Berkaca pada Operasi Mapenduma
Kasus penyanderaan pilot Susi Air mengingatkan pada kasus Mapenduma.
Saat itu, 11 anggota tim ekspedisi penelitian flora-fauna, Lorentz 95, disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM), pada 8 Januari 1996.
Dilansir dari Tribunnews, penyanderaan itu dikomandoi Kelly Kwalik, pimpinan OPM yang menjadi buronan utama aparat keamanan Indonesia.
Tim ekspedisi Lorentz berjumlah 11 orang yang disandera terdiri dari warga negara Inggris; Daniel Start (22), William "Bill" Oates (23), Annette van der Kolk (22), dan Anna Mclvor (21).
Kemudian, anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y.Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).
Mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA) Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya. Kepala suku Nduga, Jacobus Wandika juga turut disandera.
Proses negosiasi sempat dilakukan oleh International Red Cross (IRC) atau Palang Merah Internasional untuk membebaskan sandera dari OPM.
Lobi-lobi IRC tak membuahkan hasil. OPM di bawah komando Kelly Kwalik ngotot meminta syarat Papua dilepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka.
"Saya minta ubi harus dapat ubi, bukan minta ubi dikasih ketela!" tutur Kelly Kwalik, seraya mengibaratkan kemerdekaan Papua mutlak tak boleh ditawar Indonesia.
Padahal sebelumnya, anggota OPM Daniel Yudas Kogoya yang menyandera awal belasan tersebut, menampilkan sikap kompromis dan lunak dalam negosiasi.
Hanya, Kelly Kwalik mengambil langkah intervensi dan sikap keras kepala. Hingga Mei 1996, sebelas sandera masih ditahan. Penyanderaan memasuki hari ke-120. Beberapa di antaranya mulai terjangkit penyakit seperti malaria maupun tekanan psikis.
Kamis, 9 Mei 1996, Kopassus di bawah pimpinan Prabowo Subianto menyiapkan operasi militer rahasia. Ada 800 pasukan TNI diterjunkan, bersenjatakan AK dan SSI.
Lima unit helikopter TNI AU diterbangkan menurunkan pasukan guna penyekatan lokasi penyanderaan.
Sebanyak 200 prajurit di antaranya diterbangkan menggunakan helikopter yang disamarkan untuk warga sipil. Kopassus Grup-5 Antiteror siap perang kontra OPM.
Dalam operasi pembebasan itu, dua sandera, Navy Panekanan dan Matheis Y.Lasamalu, tewas dibunuh OPM. Sementara sandera lainnya selamat.
Butuh langkah cermat dan terukur
Berkaca dari peristiwa tersebut, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memahami jika upaya penyelamatan pilot Susi Air akan memakan waktu yang cukup panjang.
“Diprediksi bakal memakan waktu yang cukup panjang dan tidak sederhana. Hal ini mengingat bahwa setiap langkah memang harus direncanakan dan disiapkan secara cermat dan terukur,” kata Fahmi saat dihubungi, Senin (20/2/2023) petang.
Fahmi mengatakan, langkah TNI-Polri melalui pendekatan persuasif bisa dipandang sebagai upaya mengalokasikan waktu yang memadai untuk menyiapkan langkah represif.
“Waktu persiapan seperti apa? Tentunya untuk mengumpulkan informasi situasi-kondisi lapangan, mempersiapkan organisasi satuan tugas dan personel yang akan diterjunkan dalam misi, maupun strategi-taktik yang akan dijalankan,” kata Fahmi.
Fahmi juga menyebutkan bahwa peristiwa Mapenduma dan pilot Susi Air tidak bisa disamakan begitu saja. Setiap peristiwa memiliki kesulitan masing-masing.
“Yang jelas, kita tidak bisa begitu saja membandingkan dengan pengalaman sebelumnya. Setiap kasus punya kesulitan, kerumitan masing-masing. Begitu juga peluang dan risikonya,” kata Fahmi.
“Operasi Mapenduma misalnya, butuh persiapan panjang dan rumit karena harus memperhitungkan jumlah sandera, posisi target, dan kondisi medan. Nah untuk kasus pilot ini, bakal memakan waktu atau tidak, rumit atau tidak, bergantung pada hasil pengumpulan informasi lapangan dan analisis intelijen,” ujar Fahmi.
Fahmi menilai, pemerintah bersama TNI-Polri harus memiliki tenggat waktu yang jelas untuk langkah persuasif agar penyanderaan ini tidak berlarut-larut.
“Jika berlarut-larut, situasi, dan kondisi bisa saja memburuk dan merugikan upaya penyelamatan. Jika persiapan langkah represif memang sudah beres, operasi penyelamatan bisa segera dilakukan kapan saja,” tutur Fahmi.
Persuasif atau tindakan terukur?
Dalam operasi pencarian pilot Philips, TNI-Polri mengedepankan cara persuasif dengan melibatkan tokoh-tokoh agama.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan, pihaknya masih menunggu Pj Bupati Nduga Namia Gwijangge bernegosiasi dengan KKB yang menyandera Philips.
“Ya kita tunggu dulu. Karena dari Bupati minta waktu dia akan nego dulu. Ya sudah kita penuhi permintaan Bupati Nduga," ujar Yudo saat ditemui di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2023).
Hal sama juga diungkapkan Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen Saleh Mustafa. Namun, jika pendekatan dialog atau soft approach gagal, jajarannya akan melakukan "tindakan terukur".
“Namun mengingat waktu, kami aparat TNI-Polri punya standar operasi yang harus dijalankan dalam upaya penegakan hukum, agar persoalan ini tidak berlarut. Harus ada batas waktunya," kata Saleh.
“Saya tidak bisa sampaikan dan ungkapkan waktunya karena ini suatu hal yang dirahasiakan. Tetapi, apabila tiba waktunya, TNI-Polri akan melakukan penegakan hukum secara terukur, terpilih, dan terarah," ucap Saleh.
Terlebih, Saleh mengatakan bahwa semua warga lokal telah dievakuasi keluar Distrik Paro.
“Sudah tidak ada evakuasi masyarakat di Paro. (Sudah) kosong," kata Saleh kepada Kompas.com, Senin (13/2/2023).
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/21/12523011/penyanderaan-pilot-susi-air-mungkinkah-operasi-mapenduma-1996-terulang
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.