JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mengupayakan agar restorative justice atau keadilan restoratif masuk dalam materi revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Menurutnya, usulan untuk memasukkan restorative justice dalam revisi UU ITE diperoleh ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengadakan diskusi publik yang digelar pada September dan Desember 2022.
"Dari diskusi tersebut, terdapat masukan bahwa UU ITE perlu menyertakan norma restorative justice, usulan ini direncanakan dimuat dalam UU ITE," kata Johnny dalam rapat kerja (raker) Komisi I DPR, Senin (13/2/2023).
Baca juga: Pemerintah Usul 7 Perubahan Materi UU ITE, Apa Saja?
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem itu menambahkan, restorative justice dilakukan sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang merupakan delik aduan di Pasal 45 ayat 5 UU ITE.
Dilihat Kompas.com, bunyi Pasal itu adalah "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan".
Adapun Pasal 45 ayat 3 UU ITE berbunyi "Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)"
Adapun pemerintah mengusulkan tujuh perubahan muatan materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Usulan perubahan pertama mencakup ketentuan pada Ayat (1), (3), dan (4) Pasal 27.
"Mengenai kesusilaan, penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan, dan/atau pengancaman dengan merujuk ketentuan KUHP," kata Plate saat rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (13/2/2023).
Baca juga: Menkominfo: Pelaksanaan UU ITE Penuh Dinamika, Ada 12 Uji Materi ke MK sejak 2008
Selanjutnya, perubahan ketentuan Pasal 28 sehingga hanya mengatur tentang ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen.
Lalu, penambahan ketentuan Pasal 28a di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai ketentuan SARA dan pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
"Keempat, perubahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan atau cyber bullying," tambahnya.
Kelima, perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Selanjutnya, perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda, serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat 1.
"Tujuh, perubahan ketentuan Pasal 45a terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat," tutur Johnny.