JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik mengenai tuntutan 12 tahun penjara terhadap terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer atau Bharada E mengundang perdebatan panjang.
Ini berangkat dari pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyebut Bharada E tak bisa menjadi justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerjasama dengan penegak hukum.
Kejagung beralasan bahwa Bharada E tak memenuhi kriteria sebagai justice collaborator karena notabene sebagai pelaku utama pembunuhan berencana.
Pernyataan tersebut pun dibantah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Baca juga: Kejagung: Pelaku Pembunuhan Berencana Tak Bisa Jadi Justice Collaborator
Bahkan, LPSK mendesak Kejagung harus membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Di sisi lain, Kejagung dinilai memakai kacamata kuda, yang artinya menyampaikan pernyataan tanpa melihat secara seksama terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Kejagung menegaskan bahwa Bharada E tidak bisa menjadi justice collaborator karena statusnya sebagai pelaku utama pembunuhan berencana.
"Untuk pelaku, tidak bisa JC (justice collaborator) pelaku utama. Ini saya luruskan ini. Di undang-undang tidak bisa," kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menyebut Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur justice collaborator terhadap kasus pembunuhan berencana.
Baca juga: Soal Tuntutan Bharada E, Kejagung: LPSK Tidak Boleh Intervensi Jaksa
Ketut menjelaskan, bidang tindak pidana tertentu yang diatur terkait justice collaborator mencakup, tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi.
"Beliau (Bharada E) adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan JC. Itu juga sudah sesuai dengan Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban," ucap Ketut.
Gayung bersambut. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi angkat bicara. Edwin meminta Kejagung membaca kembali UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Ia lantas secara spesifik menyebut pasal-pasal yang menjadi kriteria seorang justice collaborator.
"Baca saja Pasal 28 ayat 2 huruf a. Lalu, lihat (juga) pasal 5 ayat 2 dan penjelasannya," ujar Edwin melalui pesan singkat, Kamis (19/1/2023).
Dalam Pasal 28 Ayat 2 huruf a UU Perlindungan Saksi Korban dijelaskan bahwa "Perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan KEPUTUSAN LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2)".
Baca juga: LPSK Minta Kejagung Baca Ulang UU PSK karena Sebut Bharada E Tak Bisa Jadi Justice Collaborator
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.