Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Bisa Jadi "Justice Collaborator", Kejagung Dinilai Pakai Kacamata Kuda soal Tuntutan Bharada E

Kompas.com - 20/01/2023, 07:42 WIB
Achmad Nasrudin Yahya

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik mengenai tuntutan 12 tahun penjara terhadap terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer atau Bharada E mengundang perdebatan panjang.

Ini berangkat dari pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyebut Bharada E tak bisa menjadi justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerjasama dengan penegak hukum.

Kejagung beralasan bahwa Bharada E tak memenuhi kriteria sebagai justice collaborator karena notabene sebagai pelaku utama pembunuhan berencana.

Pernyataan tersebut pun dibantah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Baca juga: Kejagung: Pelaku Pembunuhan Berencana Tak Bisa Jadi Justice Collaborator

Bahkan, LPSK mendesak Kejagung harus membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Di sisi lain, Kejagung dinilai memakai kacamata kuda, yang artinya menyampaikan pernyataan tanpa melihat secara seksama terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Tak bisa jadi justice collaborator

Kejagung menegaskan bahwa Bharada E tidak bisa menjadi justice collaborator karena statusnya sebagai pelaku utama pembunuhan berencana.

"Untuk pelaku, tidak bisa JC (justice collaborator) pelaku utama. Ini saya luruskan ini. Di undang-undang tidak bisa," kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menyebut Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur justice collaborator terhadap kasus pembunuhan berencana.

Baca juga: Soal Tuntutan Bharada E, Kejagung: LPSK Tidak Boleh Intervensi Jaksa

Ketut menjelaskan, bidang tindak pidana tertentu yang diatur terkait justice collaborator mencakup, tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi.

"Beliau (Bharada E) adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan JC. Itu juga sudah sesuai dengan Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban," ucap Ketut.

Baca kembali

Gayung bersambut. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi angkat bicara. Edwin meminta Kejagung membaca kembali UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Ia lantas secara spesifik menyebut pasal-pasal yang menjadi kriteria seorang justice collaborator.

"Baca saja Pasal 28 ayat 2 huruf a. Lalu, lihat (juga) pasal 5 ayat 2 dan penjelasannya," ujar Edwin melalui pesan singkat, Kamis (19/1/2023).

Dalam Pasal 28 Ayat 2 huruf a UU Perlindungan Saksi Korban dijelaskan bahwa "Perlindungan LPSK terhadap saksi pelaku diberikan dengan syarat tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan KEPUTUSAN LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2)".

Baca juga: LPSK Minta Kejagung Baca Ulang UU PSK karena Sebut Bharada E Tak Bisa Jadi Justice Collaborator

Merujuk pada Pasal 5 Ayat 2 disebutkan hak seorang saksi atau korban yang dilindungi LPSK diberikan sesuai dengan keputusan LPSK.

Dalam Pasal 5 Ayat 3 dijelaskan bahwa hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli termasuk orang yang memberikan keterangan yang berhubungan dengan perkara pidana.

"Dalam penjelasan (Pasal 5 Ayat 2) disebutkan tindak pidana yang tidak definitif tapi disebutkan tindak pidana yang mengakibatkan posisi saksi dan atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya," kata Edwin.

Berikut bunyi Pasal 5 Ayat 2: "Yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya".

Dasar dari pasal-pasal tersebut yang disebut Edwin menjadikan status Bharada E sebagai seorang justice collaborator bisa diterima.

Berpikir dua kali

Di sisi lain, Edwin menegaskan tuntutan 12 tahun terhadap Bharada E menjadi preseden buruk dalam pengungkapan kasus-kasus besar lainnya.

Menurutnya, para pelaku akan berpikir dua kali untuk menjadi seorang justice collaborator karena tak memiliki dampak untuk meringankan hukuman.

"Itu yang kami khawatirkan, apabila dalam Undang-Undang (Perlindungan Saksi Korban) yang sudah disebutkan (keringanan seorang JC) itu tidak dirujuk (dalam tuntutan) sehingga kemudian orang akan berpikir dua kali sejauh mana menjadi JC berdampak pada pemidanaannya," ujar Edwin.

Edwin mengatakan, dalam kasus-kasus sebelumnya seperti kasus korupsi dan kasus narkotika, seseorang yang direkomendasikan sebagai justice collaborator oleh LPSK selalu mendapat keringanan tuntutan. Begitu juga dalam putusan hakim.

Edwin menyebut, seorang justice collaborator selalu mendapatkan vonis lebih ringan dari pelaku lain.

"Dikabulkan oleh hakim lebih ringan, pada kasus korupsi, pada kasus narkotika juga," kata dia.

Bukan pelaku utama

Setelah melalui perdebatan tersebut, Edwin pun mengungkit ketika LPSK berupaya memberikan perlindungan terhadap Bharada E pada saat tahap penyidikan.

Edwin mengungkapkan, LPSK pernah mempertanyakan posisi Bharada E dalam kasus ini kepada penyidik kepolisian.

Baca juga: LPSK Khawatir Tuntutan Eliezer Bikin Orang Berpikir Dua Kali Jadi Justice Collaborator

Jawaban penyidik saat itu, kata Edwin, Bharada E bukanlah pelaku utama.

"Dulu hal itu yang kami tanyakan pertama (sebelum melindungi Richard Eliezer) ketika bertemu dengan penyidik. Penyidik menyatakan bahwa Bharada E bukan pelaku utama," kata Edwin.

Kacamata kuda

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut Kejagung menggunakan kacamata kuda dalam menuntut Bharada E.

Menurutnya, Kejagung sudah seharusnya mempertimbangkan status justice collaborator yang melekat pada diri Bharada E.

"Ya Kejaksaan Agung memakai kacamata kuda, seharusnya mempertimbangkan status JC karena juga didasarkan pada peraturan perundang-undangan juga. Ini contoh nyata ego sektoral," tegas Abdul kepada Kompas.com, Kamis malam.

Abdul juga menjelaskan bahwa dalam penegakkan hukum tidak ada alasan mengenai atasan dan bawahan.

Menurutnya, posisi atasan dalam penegakkan hukum adalah hukum itu sendiri. Hal ini juga yang berlaku pada kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.

Meski demikian, Abdul menilai bahwa Kejagung mengedepankan ego dengan mengesampingkan aturan yang ada terkait justice collaborator.

"Jadi peraturan perundang-undangan sudah mengatur (JC), ya berarti harus diikuti. Ini yang saya bilang ego sektoral merasa benar sendiri. Padahal dalam menegakkan hukum itu semua aturan harus dihormati," tegas dia.

(Penulis Singgih Wiryono, Rahel Narda Chaterine | Editor Icha Rastika)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com