JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) sejak 2004 hingga 2019 mengalami perbaikan guna menampung aspirasi masyarakat.
Perbaikan itu terlihat dari sistem Pemilu yang diterapkan pada Pemilu 2004 sampai 2019.
Pada Pemilu 1955 sampai 1999, sistem yang digunakan adalah proporsional tertutup. Desakan untuk mengubah sistem Pemilu menjadi lebih terbuka semakin menguat setelah Pemilu 2004.
Baca juga: Gus Yahya Setuju Pemilu Sistem Proporsional Terbuka
Pemilihan umum (Pemilu) legislatif yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota pada 2004 masih menggunakan sistem proporsional tertutup.
Sistem itu diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno (Orde Lama) pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) yakni 1971 sampai 1992.
Pada Pemilu 1999 pasca Reformasi 1998 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup.
Akan tetapi, penerapan sistem proporsional tertutup menuai kritik. Penyebabnya adalah dalam sistem proporsional tertutup, calon pemilih sama sekali tidak mengetahui siapa calon anggota legislatif (caleg) yang bakal mewakili mereka di DPR dan DPRD.
Baca juga: Tak Ingin Ambil Pusing Soal Proporsional Tertutup atau Terbuka, Amien: Apapun Kita Berani
Sebab dengan sistem proporsional tertutup, partai politik mempunyai kewenangan penuh buat menentukan calon anggota legislatif secara tertutup.
Dalam sistem proporsional tertutup, partai politik mengajukan daftar calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh partai politik.
Melalui sistem proporsional tertutup, setiap partai memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil).
Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih parpol.
Kemudian setelah perolehan suara dihitung, maka penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Penerapan sistem proporsional tertutup menuai kritik dan dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 2008.
Saat itu aturan yang diuji materi adalah Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Di dalam pasal itu disebutkan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.