Jika jumlah calon lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai, maka kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut lebih kecil.
Baca juga: Golkar Bilang Tak Ada Manuver Ubah Haluan Dukung Pemilu Proporsional Tertutup
Pasal itu dinilai memperlihatkan upaya pembuat undang-undang memberikan kewenangan penuh kepada partai politik dalam mengatur calegnya agar terpilih dengan menempatkannya pada nomor urut terkecil, padahal caleg tersebut belum tentu diterima/dikehendaki oleh rakyat.
Selain itu, pasal itu juga disebut menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara sebagaimana amanat Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu dinilai mempunyai beberapa kelebihan.
Pertama, penetapan daerah pemilihan dilakukan berbasis wilayah sehingga setiap daerah akan mempunyai calon anggota legislatif masing-masing.
Kedua, dengan penerapan sistem proporsional terbuka diharapkan terjalin hubungan yang lebih erat antara calon pemilih dengan calon anggota legislatif.
Baca juga: Hasil Pertemuan, Golkar-PKS Sepakat Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Sesuai Jadwal
Ketiga, sistem proporsional terbuka diharapkan membuat calon anggota legislatif yang terpilih benar-benar memperjuangkan aspirasi pemilih dan daerahnya.
Keempat, para caleg diharapkan menjaga kredibilitas mereka di hadapan rakyat yang memilih.
Dalam putusannya, MK memutuskan mencabut Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008.
Hal itu ditetapkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008.
Alasannya adalah pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
Baca juga: Sistem Proporsional Tertutup dan Isu Penundaan Pemilu yang Terus Digaungkan di Tahun Politik
Selain itu, Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 dinilai mengandung standar ganda yang membuat hukum diberlakukan berbeca buat keadaan sama dan berpotensi menciptakan ketidakadilan.
Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2009 buat memilih calon anggota legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan penerapan sistem proporsional terbuka, pemilih diberikan kewenangan memilih caleg yang dikehendaki sesuai daftar caleg yang ada di masing-masing partai politik peserta Pemilu.
Pada Pemilu 2009, penentuan kursi di legislatif berdasarkan suara terbanyak. Maksudnya adalah ketika suatu partai politik peserta Pemilu mendapatkan kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) maka yang memperolehnya adalah caleg dengan perolehan suara terbanyak.
Baca juga: Pimpinan Komisi II Nilai Sistem Proporsional Tertutup Disenangi Partai yang Punya Tradisi Otoriter