Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Nama Hakim Agung dalam Putusan Perkara RS Karsa Makassar dan Koperasi Intidana

Kompas.com - 19/12/2022, 23:41 WIB
Syakirun Ni'am,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga panitera Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo menerima suap Rp 3,7 miliar untuk mempengaruhi putusan kasasi Yayasan Rumah Sakit (RS) Sandi Karsa Makassar.

Suap diberikan Ketua Yayasan RS Sandi Karsa Makassar (SKM) Wahyudi Hardi agar MA menyatakan rumah sakitnya tidak dinyatakan bangkrut.

“Setelah uang diberikan maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan dan isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di kantornya, Senin (19/12/2022).

Berdasarkan penelusuran Kompas.com, kasasi yang mengabulkan permohonan Wahyudi itu teregister dengan Nomor Perkara 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dengan klasifikasi Perdata Khusus Kepailitan.

Baca juga: Hakim Yustisial MA Edy Wibowo Diduga Terima Suap Rp 3,7 Miliar

Perkara tersebut diadili Hakim Ketua Takdir Rahmadi serta Hakim Anggota Nurul Elmiyah dan Rahmi Mulyati.

Mereka menyatakan bahwa Yayasan Sandi Karsa Makassar tidak bangkrut.

“Mengadili sendiri, satu, menyatakan Pemohon Kasasi dahulu termohon PKPU/Debitor Yayasan RS Sandi Karsa Makassar tidak pailit,” sebagaimana dikutip dari putusan tersebut.

Sebagai informasi, kasasi diajukan Wahyudi lantaran Yayasan RS Sandi Karsa Makassar dinyatakan pailit atau bangkrut oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Sulawesi Selatan.

Perkara ini bermula saat PT Husada Mulya Jaya sebagai kreditor terhadap Yayasan RS Sandi Karsa Makassar memohon agar Hakim PN Makassar mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

 

Suap di balik putusan MA

Dalam putusan Pengadilan Negeri Makassar kemudian menyatakan Yayasan RS Sandi Karsa Makassar pailit.

Wahyudi Hardi kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke MA.

Dalam pertimbangannya, Hakim Ketua Takdir Rahmadi dan anggotanya menyebut, pada proses hukum di Pengadilan Negeri Makassar rencana perdamaian yang diajukan RS Sandi Karsa Makassar ditolak.

RS Sandi Karsa Makassar menyatakan terlambat membayar utang kepada PT Husada Mulya Jaya karena adanya pandemi Covid-19 yang membuat usaha jasa rumah sakit tidak berjalan baik, bahkan mengalami kerugian besar.

Baca juga: Pengacara Hakim Yustisial MA Edy Wibowo Bantah Kliennya Terima Uang

Meski demikian, RS Sandi Karsa Makassar menyatakan dalam keadaan masih bisa membayar (solven) dan tidak dalam keadaan tidak mampu membayar (insolven).

“Debitor mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan utang pokoknya dan menyanggupi untuk melunasi utang pokok pada bulan April 2022,” sebagaimana dikutip dari dokumen putusan itu.

Mahkamah menyebut semestinya RS Sandi Karsa Makassar mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan usaha. Yayasan itu juga dinilai memiliki itikad baik melunasi utang pokok pada 12 April.

Selain itu, Mahkamah juga menilai Yayasan RS Sandi Karsa tidak hanya semata-mata mencari keuntungan, melainkan memberikan fasilitas layanan kesehatan untuk masyarakat.

Baca juga: Hakim Yustisial MA Edy Wibowo Jadi Tersangka Pengurusan Kasasi RS Sandi Karsa Makassar

Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, Mahkamah kemudian menyatakan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar tersebut batal.

“Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 1/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN NIAGA MKS., tanggal 23 Mei 2022,” sebagaimana dikutip dari putusan itu.

Namun, rupanya putusan tersebut diduga dikondisikan dengan sejumlah uang. Wahyudi aktif menghubungi PNS di MA bernama Muhajir Habibie dan Albasri.

Mereka diminta mengawasi dan mengawal kasasi itu dengan kesepakatan sejumlah uang. Suap diberikan melalui kedua PNS itu untuk kemudian diteruskan kepada Edy Wahyudi.

“Diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp3,7 Miliar kepada Edy Wahyudi,” kata Firli.

Jejak Hakim Agung Takdir Rahmat dan Anggotanya

Nama Takdir Rahmat dan dua hakim anggotanya itu tidak hanya muncul dalam putusan kasasi perkara perdata Yayasan RS Sandi Karsa Makassar. Putusan itu diduga dikondisikan dengan sejumlah uang.

Nama tiga Hakim Agung ini juga muncul dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) Koperasi Simpan Pinjam Intidana.

Mengutip Kompas.id, pihak KSP Intidana mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi perkara perdata. Kasasi itu diadili oleh Hakim Ketua Syamsul Ma’arif serta Hakim Anggota Sudrajad Dimyati dan Ibrahim.

Adapun Sudrajad Dimyati merupakan satu dari dua hakim agung yang menjadi tersangka karena diduga menerima suap dari pihak KSP Intidana.

Baca juga: Hakim MA Jadi Tersangka Lagi, KY Minta KPK Bongkar Suap di Peradilan hingga Terang

Lebih lanjut, Mahkamah Agung kemudian menunjuk majelis PK untuk mengadili perkara KSP Intidana. Majelis itu terdiri dari Takdir rahmadi sebagai Hakim Ketua, serta Nurul Elmiyah dan Rahmi Mulyati.

Namun, saat proses PK masih berlangsung, KPK membongkar praktik dugaan suap jual beli perkara. Pengusutan dimulai dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang hakim yustisial, PNS di MA, pengacara, dan pihak KSP Intidana.

Dari OTT itu, KPK kemudian menetapkan Sudrajad Dimyati sebagai tersangka.

Belakangan, kasus ini merembet ke hakim agung lainnya, Gazalba Saleh yang diduga menerima suap untuk mengkondisikan perkara pidana KSP Intidana.

Majelis itu dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni dengan anggota Gazalba Saleh dan Hakim Agung Prim Haryadi.

Hakim agung minta miliaran

Pengacara KSP Intidana, Yosep Parera mengaku dimintai sejumlah uang oleh kepaniteraan MA, Desy Yustria. Jumlahnya mencapai miliaran rupiah.

??Jumlah yang yang dimintakan antara lain, 100.000 dollar Amerika Serikat, 220.000 dollar Singapura, dan 202.000 dollar Singapura.

Uang ini dimintakan kepada KSP Intidana melalui Yosep Parera terkait kepengurusan tiga perkara, yakni kasasi perdata, kasasi pidana, dan peninjauan kembali (PK).

Baca juga: Suap Hakim Agung, Yosep Parera Mengaku Dimintai Uang Ratusan Ribu Dollar untuk 3 Perkara Intidana

“Ada 3 saya lupa ya, tanya pada penyidik ya. 100.000 dollar AS, kemudian 220 (ribu dollar Singapura), kemudian yang terakhir 202 (ribu dollar Singapura),” kata Yosep saat ditemui awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (2/12/2022).

“PK-nya yang ini, yang ditangkap kemarin,” kata Yosep.

Meski nama sejumlah hakim agung itu berada dalam putusan perkara yang diduga berada di dalam pusaran suap, KPK belum memanggil mereka untuk dimintai keterangan maupun diperiksa sebagai saksi.

Respons MA

Kompas.com telah menghubungi Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro untuk meminta tanggapan terkait keberadaan nama-nama hakim agung tersebut, baik melalui Whatsapp maupun sambungan telepon. Namun, hingga berita ini ditulis Andi belum merespons.

Dalam perkara dugaan suap pengurusan perkara di MA, KPK telah menetapkan 14 orang tersangka. Mereka adalah Hakim Agung Gazalba Saleh, Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti pada Kamar Pidana Gazalba Saleh bernama Prasetio Nugroho yang juga diketahui sebagai asisten Gazalba Saleh.

Kemudian, Staf Gazalba Saleh, Redhy Novarisza.

Selanjutnya, Hakim Agung Sudrajad Dimyati, panitera pengganti MA Elly Tri Pangesti, PNS kepaniteraan MA Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta PNS MA Albasri dan Nuryanto Akmal. Mereka ditetapkan sebagai penerima suap.

Sementara itu, tersangka pemberi suapnya adalah Yosep Parera dan Eko Suparno selaku advokat, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita

Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita

Nasional
Soal Peluang Nasdem Dukung Anies di Jakarta, Ahmad Ali: Hanya Allah dan Surya Paloh yang Tahu

Soal Peluang Nasdem Dukung Anies di Jakarta, Ahmad Ali: Hanya Allah dan Surya Paloh yang Tahu

Nasional
Safenet: Kalau 'Gentleman', Budi Arie Harusnya Mundur

Safenet: Kalau "Gentleman", Budi Arie Harusnya Mundur

Nasional
Kemenag: Jumlah Jemaah Haji Wafat Capai 316 Orang

Kemenag: Jumlah Jemaah Haji Wafat Capai 316 Orang

Nasional
Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Nasional
Tak Percaya Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Pilkada DKI, Zulhas: Kapan Ketemunya? Tahu dari Mana?

Tak Percaya Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Pilkada DKI, Zulhas: Kapan Ketemunya? Tahu dari Mana?

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Sedang Haid Tidak Wajib Ikuti Tawaf Wada'

Kemenag: Jemaah Haji Sedang Haid Tidak Wajib Ikuti Tawaf Wada'

Nasional
Safenet: Petisi Tuntut Menkominfo Mundur Murni karena Kinerja, Bukan Politik

Safenet: Petisi Tuntut Menkominfo Mundur Murni karena Kinerja, Bukan Politik

Nasional
Pakar: PDN Selevel Amazon, tapi Administrasinya Selevel Warnet

Pakar: PDN Selevel Amazon, tapi Administrasinya Selevel Warnet

Nasional
Sepekan Pemulangan Jemaah Haji, Lebih 50 Persen Penerbangan Garuda Alami Keterlambatan

Sepekan Pemulangan Jemaah Haji, Lebih 50 Persen Penerbangan Garuda Alami Keterlambatan

Nasional
PAN Resmi Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju Pilkada Sulteng

PAN Resmi Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Sesalkan Tak Ada Pihak Bertanggung Jawab Penuh atas Peretasan PDN, Anggota DPR: Ini Soal Mental Penjabat Kita...

Sesalkan Tak Ada Pihak Bertanggung Jawab Penuh atas Peretasan PDN, Anggota DPR: Ini Soal Mental Penjabat Kita...

Nasional
Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada 'Back Up', Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada "Back Up", Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Nasional
Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Nasional
“Saya kan Menteri...”

“Saya kan Menteri...”

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com