"Jadi seandainya (hasil minyak) naik, kami penghasilannya besar dianggap penurunan, saya mengharapkan nanti bapak keluarkan surat untuk penghentian pengeboran minyak di Meranti," kata Adil.
"Jangan diambil lagi minyak di Meranti itu. Nggak apa-apa kami juga masih bisa makan daripada uang kami diisap sama pusat," tuturnya.
Sementara, dalam kesempatan yang sama, Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman mengaku sudah berulang kali menjelaskan kepada Adil bahwa formulasi penghitungan dana bagi hasil telah diatur dalam undang-undang.
Baca juga: Minyak Bumi Menipis, Ketum Golkar Airlangga Hartarto Dukung Pemanfaatan Energi Terbarukan
Dia bilang, dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) diatur bahwa pembagiannya diperluas ke daerah lain, bukan hanya dikembalikan ke daerah penghasil saja.
"Itu kan ada formulanya, misalnya ditetapkan dalam UU itu 85 persen diberikan kepada pusat dan daerah sebesar 15 persen. Kemudian, bukan hanya daerah penghasil, tapi daerah yang berbatasan, daerah pengolahan, dan daerah lainnya sebagai pemerataan," kata Luky.
"Jadi kalau berdasarkan formula, pasti kami bayarkan, dan formulanya itu," sambung dia.
Sementara, terkait audiensi daring, dia menjelaskan, pertemuan online memang menjadi budaya kerja baru di Kemenkeu sejak pandemi. Hal itu dimaksudkan untuk menghemat waktu dan bisa melakukan pertemuan dengan efisien.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.