Hoja pun diminta memilih apakah akan memilih kekayaan atau kebijaksanaan jika hanya ada dua pilihan.
Hoja dengan cepat menjawab akan pilih kekayaan. Tentu saja pilihan “matre” dari Hoja gantian dicibir sang anggota Dewan. Hoja dibilangnya bukan orang bijak karena lebih memilih kekayaan.
Sebaliknya Hoja juga iseng interupsi kepada anggota parlemen, dengan bertanya apakah yang akan dipilih anggota Dewan jika disuruh memilih antara kekayaan dan kebijaksanaan.
Dengan tenang dan berwibawa, sang anggota parlemen bertitah bahwa dirinya akan memilih kebijaksanaan.
Nasruddin Hoja sontak terpingkal-pingkal mendengar jawaban tegas dari anggota parlemen itu. Menurut Hoja, orang itu tentu akan memilih sesuatu yang belum dimilikinya di saat dirinya diminta untuk memilih satu di antara dua pilihan.
Nasruddin Hoja atau Nasiruddin Mahmud al-Hoyi yang hidup di masa Kesultanan Dinasti Seljuk Rum di Turki sekarang sekitar abab ke-13, memang dikenal sebagai pemimpin organisasi ahli atau Ahi Evran.
Hoja yang dimakamkan di Aksehir, Konya, Turki tentu memilih kekayaan karena dirinya sudah melekat dengan kebijaksanaan.
Sementara anggota Dewan akan memilih kebijksanaan karena soal kekayaan memang sudah didapat berlimpah ketika menjadi anggota Dewan.
Kembali kepada nasib koalisi, seperti adagium asal lambat yang penting rukun hingga pengumuman resmi pencapresan sepertinya ada benarnya.
Koalisi prematur yang dibentuk hanya memanfaatkan momentum kelarnya masa jabatan seorang kepala daerah sembari berharap menangguk efek “coat tail” atau efek ekor jas dan tuah elektabilitas belaka ternyata rentan dengan “goncangan” di dalam tubuh internal koalisi.
Saya kembali teringat dengan “Megawati Soekarnoputeri Ways” yang begitu sabar dan memilih “jalan sunyi” dalam menetapkan calon presiden yang akan diusung partainya.
Dia menguji kesabaran progresif kader-kadernya, dia menempa ketabahan anak didiknya untuk tetap setia memilih jalan kerakyatan.
Dia memilih calon lain yang bukan kerabatnya untuk maju menjadi capres dan tidak memaksakan apalagi “mengkarbit” anak biologisnya untuk dipuja-puja maju di pentas politik nasional.
Dia tahun kapan akan menaikkan dan paham kapan akan menariknya untuk belajar kehidupan lagi di samudera luas pengabdian untuk rakyat.
Sementara ada “pemilik” partai yang berbusa-busa memuji capresnya setinggi langit, tetapi dengan mudah melupakan omongannya terdahulu yang mendorong maju pemimpin rakyat yang mengedepankan kebhinekaan yang tunggal ika tanpa derajat segregasi, rakyat kembali bertanya-tanya.
Saatnya rakyat mulai bertanya-tanya, kenapa yang bapaknya pernah menjadi presiden harus pula memaksakan anaknya ditakdirkan menjadi presiden dan sekarang pun mau menjadi bakal cawapres?
Jika kamu tanya, maka kita pun bertanya-tanya mau dibawa kemana koalisi ini sejatinya?
“Ingat, Anda tidak dapat menaiki tangga kesuksesan dengan ke dua tangan di saku Anda.” – Arnold Schwarzenegger
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.