Tataran pemikiran rakyat kecil hanyalah bagaimana mereka besok bisa kerja, bisa makan, dan pertalite serta solar mudah didapat. Kelangkaan pertalite dan solar bukan cerita baru di Kendari.
Demikian juga ancaman dari pembusuran iseng yang dilakukan remaja tanggung dan pengangguran sudah galib terjadi di ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara itu. Rakyat butuh rasa aman dari kriminalitas.
Koalisi yang disebut orang daerah sebagai “urusan Jakarta” harus diakui memang sarat dengan negosiasi dan transaksi kekuasaan yang melibatkan elite-elite partai.
Mirip sebangsa vampir, mereka ini sangat haus kekuasaan. Urusan siapa menjadi capres dan siapa yang pantas menjadi cawapres begitu membetot nafsu kuasa mereka.
Mereka semua mengaku pantas menjadi capres tetapi begitu peluang mereka semakin meredup, giliran berikutnya semua serempak kompak mendapuk dirinya sendiri cocok dan masuk kriteria sebagai cawapres idaman. Harga diri mereka begitu tinggi untuk urusan jabatan.
Rakyat membutuhkan koalisi yang memecahkan urusan rakyat, bukan yang menyatukan kepentingan elite partai.
Ibu mertua saya yang sudah berusia lanjut 85 tahun dan masih suka menonton siaran televisi, sementara kami anak cucunya lebih menyenangi tontonan Netflix dan Youtube, akhirnya mengaku bosan melihat isi tayangan berita stasiun televisi.
Satu televisi yang dulu memuja Jokowi, kini begitu mengelu-elukan sosok baru yang dikesankan menjadi penyelemat masa depan.
Sementara televisi yang lain, masih kerap menampilkan lagak politisi yang kemaruk kekuasaan. Tidak ada tuntunan dalam setiap tontonan. Semuanya membingungkan.
Koalisi yang dibangun untuk kepentingan kekuasaan sesaat begitu saya yakini hanya akan seumur tanaman jagung yang diserang sapi kelaparan.
Koalisi harusnya dibangun karena adanya persamaan pemahaman akan masa depan bangsa, menyemai kepemimpinan yang berhasil membangkitkan kemajuan daerah sebagai bukti hasil kepemimpinan.
Menjadi pemimpin nasional apalagi merasa pantas menjadi presiden dan kini “turun kelas” siap dicawapreskan harusnya teruji dulu dalam konteks kepemimpinan lokal.
Koalisi adalah penyemaian calon pemimpin nasional. Bukan wadah pengkarbitan menjadi cawapres, apalagi capres.
Saya jadi teringat dengan kisah Nasruddin Hoja yang berdebat sengit dengan anggota Dewan saat menyaksikan aksi demonstrasi buruh menentang undang-undang yang mengebiri hak-hak buruh.
Aksi unjuk rasa yang telah berlangsung berhari-hari itu dikecam anggota Dewan sebagai wujud tidak dipatuhinya hukum dan etika oleh para pengujuk rasa sehingga kehidupan menjadi tidak nyaman dan tenang.
Sebaliknya, Nasruddin Hoja membantah omongan politisi klimis itu dengan menukas hukum itu harus dibuat dan sesuai bagi kepentingan rakyat. Bukan rakyat yang harus mematuhi hukum.
Tidak kalah garang, segarang jika disorot kamera televisi seperti elite partai kita sekarang, politisi itu menampik pernyataan Hoja.
Katanya, setiap produk hukum yang dibuat parlemen dan pemerintah pasti diprotes oleh rakyat karena tidak puas.
Mendengar kalimat yang terucap dari mulut anggota Dewan yang terhormat itu, Nasruddin Hoja menyindir jika anggota parlemen tersebut belum bertugas dengan baik, padahal sebagai anggota DPR sudah digaji besar, punya tunjangan maksimal bahkan menuntut rumah dinasnya pun diberi gorden yang berharga mahal pula.
Politikus yang dikritik Hoja tentu tidak terima dengan tudingan miring itu. Dirinya mengaku tetap memimpin rapat di saat mitra kerjanya memilih “bersembunyi” di bawah meja saat gempa melanda, bahkan dia malah memilih tertawa dengan argumen Hoja.