Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belum Ada Aturan Jelas, Bawaslu Dorong DPR bersama KPU Bahas Aturan Politik Uang

Kompas.com - 16/11/2022, 06:24 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengakui bahwa hingga kini, belum ada aturan rigid terkait praktek politik uang.

Hal itu disampaikannya usai rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (15/11/2022).

Dalam rapat itu, Bawaslu dicecar karena sejumlah politisi DPR menyoroti uang transportasi untuk tim sukses (timses) dianggap politik uang.

Awalnya, Bagja menyatakan bahwa pemegang kekuasaan membuat aturan penyelenggara Pemilu terkait standar uang transportasi adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Transportasi itu harus tugasnya KPU. PKPU menyusun standar transportasi dan akomodasi pada saat pelaksanaan kampanye, iya dong. Bawaslu tidak bisa berwenang untuk itu, karena itu diserahkan kepada KPU. Berapa sih standarnya?" kata Bagja saat ditemui, Selasa.

Baca juga: Tak Sepakat Uang Transport Timses Masuk Politik Uang, Anggota DPR: Perlu Dibedakan

Bagja kemudian menjelaskan bahwa dahulu aturannya, disebut politik uang jika uang transportasi senilai Rp 75.000.

Akan tetapi, nominal itu pun dinilai tidak sesuai dengan praktek di lapangan sehingga kemudian dikaji kembali.

"Sebesar Rp 75.000 kalau enggak salah. Sehingga kemudian apakah dalam bentuk uang? KPU bilang tidak dalam bentuk uang. Nah seperti apa? Ini kan tidak kemudian aplikatif di lapangan," jelasnya.

"Misalnya, Anda dikasih dalam bentuk, dikasih literan bensin, mungkin enggak? Kan enggak mungkin. Voucher? Kita di Jakarta dekat SPBU. Di daerah Sumatera jauh-jauh baru berapa kilometer ketemu SPBU. Nah itu kan tidak applicable di lapangan," lanjut dia.

Baca juga: Bawaslu Mengaku Optimistis Politik Uang Bisa Dibereskan, tapi...

Atas hal tersebut, Bagja menilai perlunya KPU dan Bawaslu duduk bersama menyusun aturan politik uang.

Menurut dia, setelah peraturan itu disusun dan ditetapkan, maka penegakan hukum akan bisa dijalankan.

"Nah, ini harus diatur, harus diomongin bersama. Jadi, pendekatannya pendekatan terhadap masyarakat juga seperti apa. Pendekatan kepada partai politik atau caleg juga seperti apa, kita harus pertemukan," kata Bagja.

"Sehingga kemudian yang misal di luar Rp 50.000, money politics berarti, sudah tidak ada pengampunan. Money politics, masuk ke sentra gakum (penegakan hukum), masuk ke tindak pidana pemilu," ungkap dia.

Lebih lanjut, Bagja menegaskan bahwa dengan demikian belum ada aturan pakem mengenai persoalan politik uang

Hal itu juga diakuinya masih menjadi perdebatan.

"Belum ada pakem, pakemnya adalah bentuk non uang. Kan bingung nanti makanan senilai berapa ini, Rp 50.000, Rp 30.000 senilai berapa. Kasih voucher makanan, budget di resto mana enggak mungkin juga kan," katanya.

"Kemudian juga ya itu yang paling susah transport, dan uang tadi apakah kemudian penghasilan perharian ini bisa diganti atau tidak," sambung Bagja.

Baca juga: Hakim Agung Sebut Politik Uang Saat Pemilu merupakan Masalah Sosiologis

Sebelumnya diberitakan, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus meminta adanya aturan yang jelas terkait politik uang.

Pasalnya, ia tak sepakat jika pemberian uang transport yang dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg) pada tim-tim sukses dinilai sebagai praktik politik uang.

"Saya juga harus menyampaikan ilustrasi, kami mengundang tim tim sukses kami, tim sukses. Pasti harus dibayar uang transport, pakai list, lalu ini dikatakan money politics," kata Guspardi dalam RDP di Komisi II DPR, Selasa.

"Jadi, inti yang ingin saya sampaikan adalah perlu dibedakan mana yang money politics, mana yang merupakan tugas dan tanggungjawab dari peserta pemilu. Memang kami bukan peserta pemilu, peserta pemilu adalah partai politik, tetapi yang menjalankan itu adalah para caleg di bawah," lanjutnya.

Kendati begitu, Guspardi mengaku sependapat bahwa praktik politik uang pada detik-detik pelaksanaan pemilu harus ditindak tegas.

Misalnya, dia mencontohkan praktik yang disebut "serangan fajar" atau memberikan uang pada hari H pemungutan suara untuk memilih caleg tertentu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Hadiri Makan Malam WWF Ke-10, Puan Disambut Hangat Jokowi Sebagai Penyelenggara

Hadiri Makan Malam WWF Ke-10, Puan Disambut Hangat Jokowi Sebagai Penyelenggara

Nasional
Harkitnas 2024, Jokowi: Mari Bersama Bangkitkan Nasionalisme

Harkitnas 2024, Jokowi: Mari Bersama Bangkitkan Nasionalisme

Nasional
Revisi UU Penyiaran: Demokrasi di Ujung Tanduk

Revisi UU Penyiaran: Demokrasi di Ujung Tanduk

Nasional
Gugat KPK, Sekjen DPR Protes Penyitaan Tas 'Montblanc' Isi Uang Tunai dan Sepeda 'Yeti'

Gugat KPK, Sekjen DPR Protes Penyitaan Tas "Montblanc" Isi Uang Tunai dan Sepeda "Yeti"

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan SYL, KPK Hadirkan Dirjen Perkebunan Kementan Jadi Saksi

Bongkar Dugaan Pemerasan SYL, KPK Hadirkan Dirjen Perkebunan Kementan Jadi Saksi

Nasional
Tiga Menteri Koordinasi untuk Tindak Gim Daring Mengandung Kekerasan

Tiga Menteri Koordinasi untuk Tindak Gim Daring Mengandung Kekerasan

Nasional
Gugat KPK, Indra Iskandar Persoalkan Status Tersangka Korupsi Pengadaan Kelengkapan Rumah Jabatan DPR

Gugat KPK, Indra Iskandar Persoalkan Status Tersangka Korupsi Pengadaan Kelengkapan Rumah Jabatan DPR

Nasional
Momen Presiden Jokowi Jamu Santap Malam dengan Delegasi KTT WWF Ke-10 di GWK

Momen Presiden Jokowi Jamu Santap Malam dengan Delegasi KTT WWF Ke-10 di GWK

Nasional
Sudah Diingatkan Malu kalau Kalah, Anies Tetap Pertimbangkan Serius Pilkada DKI Jakarta

Sudah Diingatkan Malu kalau Kalah, Anies Tetap Pertimbangkan Serius Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Kejanggalan Kematian Prajurit Marinir Lettu Eko Ketika Bertugas di Papua...

Kejanggalan Kematian Prajurit Marinir Lettu Eko Ketika Bertugas di Papua...

Nasional
Gugatan Praperadilan Sekjen DPR Lawan KPK Digelar 27 Mei 2024

Gugatan Praperadilan Sekjen DPR Lawan KPK Digelar 27 Mei 2024

Nasional
Penambahan Jumlah Kementerian dan Hak Prerogatif Presiden

Penambahan Jumlah Kementerian dan Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Saat Anies 'Dipalak' Bocil yang Minta Lapangan Bola di Muara Baru...

Saat Anies "Dipalak" Bocil yang Minta Lapangan Bola di Muara Baru...

Nasional
Anies Kini Blak-blakan Serius Maju Pilkada Jakarta, Siapa Mau Dukung?

Anies Kini Blak-blakan Serius Maju Pilkada Jakarta, Siapa Mau Dukung?

Nasional
Persoalkan Penetapan Tersangka, Gus Muhdlor Kembali Gugat KPK

Persoalkan Penetapan Tersangka, Gus Muhdlor Kembali Gugat KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com