JAKARTA, KOMPAS.com – Penjabat (pj) gubernur tiga provinsi baru di Papua, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, dijadwalkan bakal dilantik hari ini, Jumat (11/11/2022).
“Kementerian Dalam Negeri akan melaksanakan kegiatan Peresmian 3 Provinsi DOB (Daerah Otonomi Baru) Papua dan Pelantikan Penjabat Gubernur Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Benni Irwan, dalam keterangannya kepada wartawan pada Kamis (10/11/2022).
Baca juga: UU Pemilu Segera Direvisi Setelah Adanya Pemekaran Papua
Menurut jadwal, pelantikan akan dilaksanakan di Lapangan Plaza Kantor Pusat Kemendagri, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, penjabat yang akan dilantik itu adalah Apolo Safanpo untuk Pj Gubernur Papua Selatan; Nikolaus Kondomo untuk Pj Gubernur Papua Pegunungan, serta Ribka Haluk untuk Pj Gubernur Papua Tengah.
Baca juga: Jokowi Bertemu Tito Karnavian, Bahas DOB Papua
Apolo merupakan Rektor Universitas Cendrawasih Papua dan Nikolaus merupakan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua. Sementara itu, Ribka menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil Papua.
Berdasarkan undang-undang pembentukan masing-masing DOB itu, penjabat gubernur akan mengemban banyak tugas.
Baca juga: Mendagri: Pemekaran di Papua Punya Tujuan Mulia
Mereka memiliki kewajiban dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah serta pembentukan dan pengisian perangkat daerah sesuai ketentuan.
Mereka juga wajib memfasilitasi pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) provinsi serta memfasilitasi pemilihan gubernur-wakil gubernur definitif sesuai perundang-undangan.
Para penjabat gubernur juga wajib mengelola keuangan daerah sesuai peraturan perundangan.
Baca juga: Kemendagri Paparkan Kesiapan Penyelenggaraan Pemerintahan di Tiga DOB Papua
Ide pemekaran Papua sempat memperoleh gelombang penolakan yang cukup masif di Bumi Cenderawasih. Berulang kali aksi unjuk rasa digelar, baik oleh mahasiswa maupun warga lokal, guna menolak DOB yang dianggap akan jadi pintu masuk bagi eksploitasi yang lebih besar di Papua.
Secara formal, proses pemekaran Papua pun dianggap tidak partisipatif karena dilakukan sepihak oleh Jakarta.
Baca juga: Pemekaran Papua dan Pengabaian Aspirasi Masyarakat Adat
Hal ini berkaitan dengan perpanjangan otonomi khusus (Otsus) bagi Papua. Sebagai informasi, Papua dan Papua Barat memperoleh otsus melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus.
Dalam peraturan itu, pemekaran wilayah di Papua hanya dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara yang atas amanat otonomi khusus menjadi representasi kultural orang asli Papua (OAP).
Dalam perjalanannya, UU Otsus itu sempat direvisi pada 2008. Kemnudian, pada 2021, bertepatan dengan usainya Otsus, evaluasi pun dilakukan.
Hasil evaluasi oleh Jakarta, UU Otsus dinilai perlu direvisi lagi oleh DPR RI, menghasilkan sejumlah perubahan baru terkait pelaksanaan otsus di Papua.
Baca juga: Wapres Sebut Moratorium DOB Belum Dicabut, kecuali Papua dan Papua Barat
Beleid tentang pemekaran wilayah, misalnya, dimodifikasi. Selain atas persetujuan MRP, pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Evaluasi dan revisi ini disebut tanpa melibatkan orang Papua, dalam hal ini melalui MRP.
Kalangan pemerhati Papua dan pegiat hak asasi manusia menilai idealnya pemerintah dan DPR menunda pembahasan pemekaran Papua hingga putusan Mahkamah Konstitusi diketuk.
MRP justru baru dilibatkan belakangan, ketika mereka menghadiri undangan Rapat Dengar Pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, 22 Juni 2022.
Baca juga: Pemekaran Papua dan Pengabaian Aspirasi Masyarakat Adat
Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Ginsang mengeklaim MRP setuju atas pemekaran ini. Namun, MRP justru menyatakan sebaliknya.
“Terkait pemekaran di Papua terjadi pro dan kontra saat ini, namun sesuai fakta di lapangan di beberapa wilayah di Papua kita tahu sendiri mayoritas rakyat Papua tegas menolak pemekaran DOB (daerah otonomi baru), dibanding mereka yang dukung,” kata Ketua MRP Timotius Murib, dikutip situs resmi MRP.
“Pemekaran merupakan produk buru-buru akibat perubahan Otsus jilid 2 yang sepihak di lakukan oleh DPR RI, tanpa kajian ilmiah terkait pembentukan DOB. Proses DOB ini harus di pending sampai harus ada putusan Mahkamah Konstitusi,” lanjutnya.
Di sisi lain, pemekaran ini justru dikhawatirkan juga akan memperburuk krisis kemanusiaan akibat konflik bersenjata di sana.
Lantaran, pasukan keamanan di Bumi Cenderawasih bakal bertambah secara besar-besaran sebagai konsekuensi langsung dari pembentukan 3 provinsi baru.
Baca juga: Tiga UU tentang Pemekaran Wilayah Papua Resmi Diundangkan
Dilihat dari kacamata Jakarta, masuknya aparat keamanan dalam jumlah besar selaras dengan keperluan untuk mengamankan investasi dan bisnis serta meredam aspirasi kemerdekaan Papua.
Provinsi-provinsi baru itu akan memiliki kodam dan polda baru, beserta satuan-satuan di bawahnya yang berdampak pada distribusi pasukan keamanan yang kian masif.
Mengutip data Amnesty International, tanpa pemekaran saja, Kabupaten Intan Jaya yang kerap jadi pusat konflik antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengalami lonjakan pos militer dari 2 pada 2019 menjadi 17 pos pada 2021 karena "alasan keamanan.
Padahal, pengerahan pasukan keamanan dalam jumlah besar di Papua sejak 2019 telah menjadi sorotan dan dianggap kontraproduktif dalam upaya mencari jalan damai atas masalah politik dan kemanusiaan di Papua.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.