Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak Permohonan PKS untuk Turunkan Presidential Threshold, Ini Alasan MK

Kompas.com - 29/09/2022, 18:06 WIB
Fika Nurul Ulya,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materil ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Permohonan uji materil itu sebelumnya diajukan oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan jajaran pengurus PKS Aboe Bakar dan Salim Segaf Aljufri. Dengan ditolaknya permohonan, maka ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen konstitusional.

"Berdasarkan UUD 1945 dan seterusnya amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman yang mempimpin sidang hari ini di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Baca juga: Presidential Threshold: Pengertian dan Sejarahnya dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia

Penolakan atas permohonan nomor 73/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh PKS itu memiliki beberapa alasan. Dalam sidang, Hakim Enny Nurbaningsih menjelaskan penentuan presidential threshold adalah kebijakan politik yang terbuka.

Mahkamah tidak memiliki wewenang untuk menilai maupun mengubah besaran ambang batas. Namun dalam permohonan, pemohon meminta Mahkamah untuk mengubah ketentuan ambang batas tersebut.

Oleh karena itu, pihaknya menilai dalil permohonan yang diajukan oleh para pemohon tidak beralasan menurut hukum sehingga MK menolaknya.

"Ketentuan presidential threshold perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan lah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas," ucap Enny Nurbaningsih.

Baca juga: Pengertian Presidential Threshold dan Alasan Penerapannya

Enny menjelaskan, perubahan ambang batas menjadi kewenangan para pembentuk UU, yakni DPR dan Presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut.

Sedangkan berdasarkan permohonan PKS, partai berlambang bulan sabit padi itu meminta MK mengubah presidential threshold menjadi 7 persen atau 9 persen.

Mereka beranggapan, besarnya presidential threshold 20 persen yang berlaku saat ini membuat jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden jadi terbatas.

Dalam rapat permusyawaratan hakim, MK memutuskan bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terkait ambang batas yang berlaku saat ini.

Baca juga: Berkali-kali Diuji, Presidential Threshold Selalu Kandas di MK

"Tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma pasal 222 UU 7/2017 sehingga mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya," kata Enny.

Memang dalam putusan, hakim konstitusi Soehartoyo dan Saldi Isra menyatakan dissenting opinion. Soehartoyo berpendirian bahwa tidak tepat adanya pemberlakuan persentase ambang batas dalam mencalonkan capres dan cawapres.

Namun MK tetap berpendirian sama dengan keputusan sebelumnya terkait pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang telah dibacakan dalam beberapa sidang terbuka sebelumnya.

Beberapa sidang terbuka tersebut, yaitu tanggal 11 Januari 2018, tanggal 25 Oktober 2018, dan sidang putusan tanggal 7 Juli 2022.

"Mahkamah tetap pada pendiriannya, yakni hal tersebut merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy dalam ranah pembentuk UU," sebut Enny.

Sebelumnya diberitakan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengajukan permohonan uji materil pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional.

Presiden PKS Ahmad Syaikhu sempat menghadiri sidang perdana uji materi tersebut. Syaikhu bilang, uji materi diajukan PKS untuk memperbaiki kondisi bangsa.

"Angka presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional di Pasal 222 ini jelas membatasi prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat yang dijamin UUD 1945," kata Syaikhu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com