Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas menilai pembicaraan Jokowi dalam pertemuan dengan Zelensky dan Putin dilanjutkan dengan lobi-lobi dan gagasan yang lebih konkret.
Proses itu, kata Anton, membutuhkan keseriusan dan kesabaran. Hal itu tak bisa hanya dilakukan oleh Jokowi, tetapi juga melalui jalur-jalur lain atau mencetuskan inisiatif untuk mencairkan hubungan antara Ukraina dan Rusia.
"Meyakinkan Kremlin dan Kyiv bahwa Indonesia layak dipertimbangkan sebagai mediator andal membutuhkan proses dan keseriusan," kata Anton saat dihubungi Kompas.com, Jumat (8/7/2022).
Menurut Anton, keseluruhan proses diplomasi atau lobi kepada pihak-pihak yang tengah berkonflik terkadang tak selalu dibuka. Malah ada juga yang dilakukan melalui jalan belakang.
Baca juga: Perdamaian Rusia-Ukraina, Bukan Sekali Tepuk Jadi
"Tapi keseriusan bahwa pesan Indonesia menyeriusi peran sebagai mediator harus tetap ditunjukkan pada publik lebih luas," ucap Anton.
"Dengan begitu, anggapan bahwa apa yang dilakukan hanya untuk kepentingan jangka pendek akan mudah ditepis," lanjut Anton.
Harapan supaya kondisi dunia segera membaik dari tekanan ekonomi akibat dampak pandemi dan peperangan diungkapkan dalam pertemuan di Pertemuan Menteri-menteri luar negeri (Foreign Ministerial Meeting/FMM) G20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/7/2022).
Dalam pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi turut menyinggung soal dampak invasi Rusia ke Ukraina berimbas kepada krisis pangan dan energi.
Peperangan itu juga membuat banyak negara kesulitan karena masih susah payah membangkitkan perekonomian karena dampak pandemi Covid-19.
"Efek riak sedang dirasakan secara global pada makanan, energi, dan ruang fiskal. Dan seperti biasa, negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah paling terkena dampak," kata Retno dalam FMM G20 di Nusa Dua, Bali, yang disiarkan secara daring.
Baca juga: Kans Indonesia Mediasi Konflik Rusia-Ukraina Dinilai Masih Terbuka
Akibat serangkaian tantangan dan permasalahan global ini, pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksi melambat menjadi 2,9 persen pada 2022. Padahal, sejumlah lembaga internasional memprediksi 2022 adalah tahun pemulihan.
Selain itu, lanjut Retno, inflasi dapat mencapai hingga 8,7 persen untuk negara-negara berkembang.
"Bisakah kita memecahkan masalah global ini sendiri? Jawabannya adalah tidak. Tantangan global membutuhkan solusi global. Tapi sejujurnya kita tidak dapat menyangkal bahwa semakin sulit bagi dunia untuk duduk bersama," ungkap Retno.
Retno tak memungkiri, situasi dunia saat ini, membuat orang kehilangan kepercayaan pada multilateralisme dan kapasitasnya untuk merespons secara efektif tantangan global.
Multilateralisme, kata Retno, memang tidak sempurna. Namun, menurut dia kondisi dunia tanpa multilateralisme bakal lebih buruk.