BAGI saya, rangkaian kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia saat ini tidak hanya sekadar untuk menghentikan perang di antara kedua negara, tetapi lebih sebagai bentuk pembuktian kepada lawan-lawan politiknya bahwa ia adalah negosiator ulung di panggung dunia.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia mengingatkan saya akan pernyataan Jenette Braverman – seorang anggota dewan Forbes yang mengatakan bahwa “A trusted leader leaves a legacy” (pemimpin yang dipercaya meninggalkan legasi).
Jokowi ingin meninggalkan legasi bahwa ia adalah presiden yang kapabel dalam bernegosiasi dan berdiplomasi dalam dinamika politik internasional.
Bagi saya, kunjungan bilateral Jokowi ke Ukraina dan Rusia adalah ajang pembuktian kepada lawan politiknya di Indonesia yang selama ini meremehkan kemampuan komunikasinya dalam dalam percaturan politik internasional.
Pada periode pertamanya, Jokowi sering meminta Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, untuk menggantikannya dalam berbagai pertemuan penting, termasuk sidang umum tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada periode pertamanya, Jokowi selalu absen dalam sidang umum PBB. Lima kali Jokowi meminta JK mewakili dirinya.
Inilah yang membedakan Jokowi dengan pendahulunya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang selalu hadir dalam sidang PBB.
Karena tidak pernah hadir dalam sidang umum PBB, Jokowi sering dikritik oleh lawan-lawan politiknya, termasuk anggota Dewan Fadli Zon. Jokowi dinilai tidak memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk tampil di panggung dunia.
Kritik tersebut masuk akal karena berpidato pada sidang tahunan PBB sebetulnya merupakan momen penting untuk menunjukkan posisi Indonesia di mata dunia internasional dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia.
Alasan “padatnya kegiatan di dalam negeri” merupakan penjelasan yang selalu disampaikan oleh pihak Istana di kala banyak orang bertanya di balik absennya Jokowi dalam sidang tahunan PBB.
Sikap Jokowi yang absen dari beberapa pertemuan internasional berdampak pada perubahan arah politik luar negeri Indonesia.
Pengamat hubungan internasional berpendapat kebijakan luar negeri Indonesia di era Jokowi tergolong inward looking. Artinya fokus hanya pada politik domestik dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri ketimbang politik internasional.
Berbeda dengan SBY, arah kebijakan luar negeri Indonesia sangat outward looking dengan mengutamakan soft power dan bernuansakan high profile politics.
Artinya politik luar negeri Indonesia di era SBY fokus pada meningkatkan pengaruh dan membangun citra baik Indonesia di luar negeri.