Di samping itu, putusan ini juga mencederai rasa keadilan bagi para korban penculikan 1997-1998.
"Korban yang sampai sekarang juga belum mendapat pemulihan secara layak, belum mendapat restitusi, dan lain-lain, malah kemudian pelaku-pelakunya terus mendapatkan karier dan tidak dievaluasi, dan kemudian mendapat semacam prestasi dari pemerintah," tutur Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam jumpa pers.
Baca juga: Kata Andika Perkasa soal Penunjukan Pangdam Jaya Untung Budiharto yang Tuai Kritik
Dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN DKI yang menangani perkara ini, Estiningtyas Diana Mandagi sebagai hakim ketua serta Novy Dew Cahyati dan Pengki Nurpanji selaku hakim anggota, menyatakan bahwa gugatan ini termasuk obyek sengketa yang dikecualikan dari tugas dam wewenang PTUN.
"Pengadilan berpendapat, dengan adanya kekosongan hukum mengenai Peradilan Tata Usaha Militer yang berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa tata usaha angkatan bersenjata/militer bukan pula kemudian mutatis mutandis menjadi ranah/kewenangan dari PTUN untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikannya," demikian bunyi salinan pertimbangan putusan tersebut.
Majelis Hakim juga berharap agar preseden ini menjadi evaluasi bagi negara, supaya segera menerbitkan beleid terkait peradilan tata usaha militer.
"Dengan adanya gugatan a quo, hendaknya menjadi pemicu bagi negara untuk hadir mengisi kekosongan hukum tersebut."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.