"Kupersembahkan kepada bangsaku sebagai tanda pengabdianku telah kuselesaikan. Semoga bangsaku tetap djaja," begitu isi tulisan Sudarto.
Dokumen itu dimasukkan ke sebuah botol, lalu ditanam di padang es yang membeku di bawah hamparan bendera merah putih. Itu adalah pertama kali orang Indonesia menginjakkan kaki puncak tertinggi Pegunungan Jayawijaya. Ini peristiwa nasional yang besar waktu itu.
Presiden Sukarno bahkan sempat mengirim amanatnya lewat radio ketika ekspedisi tengah berlangsung.
"Kepada rombongan pendaki, saya perintahkan untuk meneruskan tugas mendaki Puncak Sukarno dan memancangkan Merah-Putih di atasnya, dengan iringan doa restu saya dan dengan keyakinan, bahwa putera-putera Indonesialah yang lebih mampu menguasai alam Indonesia, oleh karena putera-putera Indonesia sendirilah yang dapat berbicara dengan nalurinya untuk mengenal watak dan kepribadian ibunya, Ibu Pertiwi, atau Tanah Air Indonesia. Maju terus! Pantang mundur!"
Baca juga: Konfrontasi Indonesia dan Belanda dalam Sengketa Irian Barat
Akan tetapi, kekuasaan Sukarno goyah akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sukarno akhirnya turun dari panggung kekuasaan pada 1967 setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mencabut gelar presiden seumur hidup, dan mengangkat serta melantik Suharto menjadi presiden.
Setelah itu, pemerintahan Suharto melakukan langkah de-Sukarnoisasi untuk menghilangkan segala pengaruh Sukarno di masa Orde Baru. Nama Puncak Sukarno pun diganti menjadi Puncak Jayawijaya.
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada 2009 silam menyatakan prihatin nama mendiang ayahnya tidak lagi menjadi simbol pegunungan tertinggi di Papua.
Megawati mengemukakan, nama pegunungan tertinggi di Papua semula adalah Soekarno. Tetapi pemerintah masa lalu menggantinya dengan Puncak Jaya Wijaya. Penghapusan itu sebagai bentuk sikap yang tidak menghargai pemimpin nasional. Padahal, di negara lain, penghargaan kepada pemimpin nasional yang telah berjasa begitu besar.
"Kalau saya ’ngomong’ begini nanti ada yang bilang ’ah itu ’kan karena Bapakmu’. Bukan, bukan soal itu, tetapi ini soal penghargaan bangsa ini kepada pemimpinnya," katanya dalam Perayaan Natal PDI Perjuangan sekaligus Perayaan HUT ke-36 PDI Perjuangan di Lapangan Tenis Indoor Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, 10 Januari 2009 silam.
Sumber:
Kompas edisi 29 April 1990: "Dua Puluh Enam Tahun, antara Perintis dan Penerus".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.