Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Orde Lama dan Orde Baru di Puncak Jayawijaya

Kompas.com - 22/03/2022, 07:08 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Pegunungan Jayawijaya ternyata menyimpan warisan tentang gejolak politik yang terjadi di Indonesia pada kurun 1960-an.

Merunut ke masa lalu, tepatnya pada 19 Desember 1961 sampai 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda terlibat konfrontasi politik dan militer dalam memperebutkan Irian Barat. Sebelum konflik itu terjadi, Belanda menguasai wilayah Irian Barat.

Hal itu terjadi setelah Belanda dan Republik Indonesia meneken perjanjian damai dan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui Konferensi Meja Bundar pada 1 November 1949. Dalam salah satu poin perjanjian itu, Belanda menyatakan status wilayah Irian Barat akan dibicarakan setahun setelah proses penyerahan kedaulatan selesai.

Belanda saat itu menolak menyerahkan wilayah Irian Barat karena beralasan para penduduknya tidak memiliki keterikatan etnis dengan suku lain di Indonesia. Namun, saat itu Indonesia berkeras seluruh wilayah bekas jajahan Belanda harus diserahkan seluruhnya.

Baca juga: Lapangan Banteng dari Masa ke Masa, Sebelum Monumen Pembebasan Irian Barat Berdiri Tegak

Akan tetapi, Republik Indonesia Serikat bubar pada 1950. Belanda menilai Indonesia sudah tidak menaati perjanjian dengan membubarkan RIS. Alhasil, sengketa soal status Irian Barat menggantung sampai 12 tahun.

Pada 1950-an Indonesia sudah menggelar sejumlah aksi militer secara sporadis untuk menyusup ke Irian Barat. Langkah diplomasi melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendesak Belanda membahas persoalan itu juga terus dilakukan.

Presiden Sukarno saat itu juga memutuskan mengambil alih atau nasionalisasi sejumlah perusahaan Belanda di Indonesia. Bahkan warga Belanda yang berada di Indonesia dideportasi.

Belanda membalas dengan memangkas volume perdagangan dengan Indonesia. Puncaknya adalah pada 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.

Di sisi lain, hubungan Sukarno dengan Blok Timur dan Uni Soviet saat itu juga semakin mesra. Bahkan ketika itu Uni Soviet menjual sejumlah alat utama sistem persenjataan canggih ke Indonesia yang digunakan untuk menyerbu Irian Barat.

Baca juga: Sejarah Irian Barat hingga Bergabung ke Indonesia

Sukarno lantas menerbitkan dekrit pembentukan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat pada 19 Desember 1961. Peperangan itu berakhir pada 15 Agustus 1962 setelah Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia melalui perjanjian New York.

Ekspedisi Cendrawasih

Setelah merebut Irian Barat, Angkatan Darat Republik Indonesia merancang ekspedisi menyusuri Pegunungan Jayawijaya pada akhir 1963.

Ekspedisi saat itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Azwar Hamid dari Jawatan Topografi Angkatan Darat. Pemerintah mengajak seorang ilmuwan dari Universitas Kyoto, Prof. Kato, dan 10 orang peneliti untuk ikut serta dalam ekspedisi itu.

Ekspedisi yang diikuti 55 orang itu bertujuan untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Puncak Jayawijaya, sekaligus melakukan penelitian tentang keadaan flora, fauna, botani, biologi, meteorologi, dan geologi.

Tim inti pendaki dalam ekspedisi itu adalah dua anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (kini Komando Pasukan Khusus/Kopassus), yakni Letnan I (Lettu) Sudarto dan Pembantu Letnan S. Sugiri, serta seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Fred Athaboe.

Baca juga: Diplomasi Bilateral dan Multilateral dalam Sengketa Irian Barat

Ketiganya berhasil mencapai puncak yang saat itu dinamakan Puncak Sukarno pada 1 Maret 1964, pukul 13.30 WIT. kemudian menulis sehelai dokumen di puncak es di Irian Barat itu.

"Kupersembahkan kepada bangsaku sebagai tanda pengabdianku telah kuselesaikan. Semoga bangsaku tetap djaja," begitu isi tulisan Sudarto.

Dokumen itu dimasukkan ke sebuah botol, lalu ditanam di padang es yang membeku di bawah hamparan bendera merah putih. Itu adalah pertama kali orang Indonesia menginjakkan kaki puncak tertinggi Pegunungan Jayawijaya. Ini peristiwa nasional yang besar waktu itu.

Presiden Sukarno bahkan sempat mengirim amanatnya lewat radio ketika ekspedisi tengah berlangsung.

"Kepada rombongan pendaki, saya perintahkan untuk meneruskan tugas mendaki Puncak Sukarno dan memancangkan Merah-Putih di atasnya, dengan iringan doa restu saya dan dengan keyakinan, bahwa putera-putera Indonesialah yang lebih mampu menguasai alam Indonesia, oleh karena putera-putera Indonesia sendirilah yang dapat berbicara dengan nalurinya untuk mengenal watak dan kepribadian ibunya, Ibu Pertiwi, atau Tanah Air Indonesia. Maju terus! Pantang mundur!"

Baca juga: Konfrontasi Indonesia dan Belanda dalam Sengketa Irian Barat

Akan tetapi, kekuasaan Sukarno goyah akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sukarno akhirnya turun dari panggung kekuasaan pada 1967 setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mencabut gelar presiden seumur hidup, dan mengangkat serta melantik Suharto menjadi presiden.

Setelah itu, pemerintahan Suharto melakukan langkah de-Sukarnoisasi untuk menghilangkan segala pengaruh Sukarno di masa Orde Baru. Nama Puncak Sukarno pun diganti menjadi Puncak Jayawijaya.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada 2009 silam menyatakan prihatin nama mendiang ayahnya tidak lagi menjadi simbol pegunungan tertinggi di Papua.

Megawati mengemukakan, nama pegunungan tertinggi di Papua semula adalah Soekarno. Tetapi pemerintah masa lalu menggantinya dengan Puncak Jaya Wijaya. Penghapusan itu sebagai bentuk sikap yang tidak menghargai pemimpin nasional. Padahal, di negara lain, penghargaan kepada pemimpin nasional yang telah berjasa begitu besar.

"Kalau saya ’ngomong’ begini nanti ada yang bilang ’ah itu ’kan karena Bapakmu’. Bukan, bukan soal itu, tetapi ini soal penghargaan bangsa ini kepada pemimpinnya," katanya dalam Perayaan Natal PDI Perjuangan sekaligus Perayaan HUT ke-36 PDI Perjuangan di Lapangan Tenis Indoor Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, 10 Januari 2009 silam.

Sumber:

Kompas edisi 29 April 1990: "Dua Puluh Enam Tahun, antara Perintis dan Penerus".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar

KPK Usut Dugaan Pengadaan Barang dan Jasa Fiktif di PT Telkom Group, Kerugian Capai Ratusan Miliar

Nasional
Anggota DPR Sebut Pembubaran People’s Water Forum Coreng Demokrasi Indonesia

Anggota DPR Sebut Pembubaran People’s Water Forum Coreng Demokrasi Indonesia

Nasional
Namanya Disebut Masuk Bursa Pansel Capim KPK, Kepala BPKP: Tunggu SK, Baru Calon

Namanya Disebut Masuk Bursa Pansel Capim KPK, Kepala BPKP: Tunggu SK, Baru Calon

Nasional
Tutup Forum Parlemen WWF, Puan Tekankan Pentingnya Ketahanan Air

Tutup Forum Parlemen WWF, Puan Tekankan Pentingnya Ketahanan Air

Nasional
Singgung Kenaikan Tukin, Jokowi Minta BPKP Bekerja Lebih Baik

Singgung Kenaikan Tukin, Jokowi Minta BPKP Bekerja Lebih Baik

Nasional
Kembangkan Energi Terbarukan di RI dan Internasional, Pertamina NRE Gandeng Masdar

Kembangkan Energi Terbarukan di RI dan Internasional, Pertamina NRE Gandeng Masdar

Nasional
MK Tolak Gugatan PPP soal Perpindahan 21.000 Suara ke Partai Garuda di 4 Dapil

MK Tolak Gugatan PPP soal Perpindahan 21.000 Suara ke Partai Garuda di 4 Dapil

Nasional
Paparkan Hasil Forum Parlemen WWF, Puan Sebut Isu Air Akan Jadi Agenda Prioritas

Paparkan Hasil Forum Parlemen WWF, Puan Sebut Isu Air Akan Jadi Agenda Prioritas

Nasional
MK Tolak Gugatan PPP Terkait Hasil Pileg Dapil Jabar

MK Tolak Gugatan PPP Terkait Hasil Pileg Dapil Jabar

Nasional
Sidang Asusila Ketua KPU, Anggota Komnas HAM dan Perempuan Jadi Ahli

Sidang Asusila Ketua KPU, Anggota Komnas HAM dan Perempuan Jadi Ahli

Nasional
Belanja Negara Makin Besar, Jokowi Minta BPKP Inovasi Gunakan Teknologi Digital

Belanja Negara Makin Besar, Jokowi Minta BPKP Inovasi Gunakan Teknologi Digital

Nasional
Pegawai Protokol Kementan hingga Pihak Swasta Jadi Saksi Sidang Kasus Korupsi SYL

Pegawai Protokol Kementan hingga Pihak Swasta Jadi Saksi Sidang Kasus Korupsi SYL

Nasional
Ketua KPK Ogah Tanggapi Masalah Ghufron Laporkan Dewas ke Bareskrim

Ketua KPK Ogah Tanggapi Masalah Ghufron Laporkan Dewas ke Bareskrim

Nasional
KPU Sebut Upaya PPP Tembus Parlemen Kandas Sebab Gugatan Banyak Ditolak MK

KPU Sebut Upaya PPP Tembus Parlemen Kandas Sebab Gugatan Banyak Ditolak MK

Nasional
Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban

Dugaan Rayu PPLN, Ketua KPU Hadiri Sidang DKPP Bareng Korban

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com