Salin Artikel

Jejak Orde Lama dan Orde Baru di Puncak Jayawijaya

JAKARTA, KOMPAS.com - Pegunungan Jayawijaya ternyata menyimpan warisan tentang gejolak politik yang terjadi di Indonesia pada kurun 1960-an.

Merunut ke masa lalu, tepatnya pada 19 Desember 1961 sampai 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda terlibat konfrontasi politik dan militer dalam memperebutkan Irian Barat. Sebelum konflik itu terjadi, Belanda menguasai wilayah Irian Barat.

Hal itu terjadi setelah Belanda dan Republik Indonesia meneken perjanjian damai dan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui Konferensi Meja Bundar pada 1 November 1949. Dalam salah satu poin perjanjian itu, Belanda menyatakan status wilayah Irian Barat akan dibicarakan setahun setelah proses penyerahan kedaulatan selesai.

Belanda saat itu menolak menyerahkan wilayah Irian Barat karena beralasan para penduduknya tidak memiliki keterikatan etnis dengan suku lain di Indonesia. Namun, saat itu Indonesia berkeras seluruh wilayah bekas jajahan Belanda harus diserahkan seluruhnya.

Akan tetapi, Republik Indonesia Serikat bubar pada 1950. Belanda menilai Indonesia sudah tidak menaati perjanjian dengan membubarkan RIS. Alhasil, sengketa soal status Irian Barat menggantung sampai 12 tahun.

Pada 1950-an Indonesia sudah menggelar sejumlah aksi militer secara sporadis untuk menyusup ke Irian Barat. Langkah diplomasi melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendesak Belanda membahas persoalan itu juga terus dilakukan.

Presiden Sukarno saat itu juga memutuskan mengambil alih atau nasionalisasi sejumlah perusahaan Belanda di Indonesia. Bahkan warga Belanda yang berada di Indonesia dideportasi.

Belanda membalas dengan memangkas volume perdagangan dengan Indonesia. Puncaknya adalah pada 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.

Di sisi lain, hubungan Sukarno dengan Blok Timur dan Uni Soviet saat itu juga semakin mesra. Bahkan ketika itu Uni Soviet menjual sejumlah alat utama sistem persenjataan canggih ke Indonesia yang digunakan untuk menyerbu Irian Barat.

Sukarno lantas menerbitkan dekrit pembentukan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat pada 19 Desember 1961. Peperangan itu berakhir pada 15 Agustus 1962 setelah Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Indonesia melalui perjanjian New York.

Ekspedisi Cendrawasih

Setelah merebut Irian Barat, Angkatan Darat Republik Indonesia merancang ekspedisi menyusuri Pegunungan Jayawijaya pada akhir 1963.

Ekspedisi saat itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Azwar Hamid dari Jawatan Topografi Angkatan Darat. Pemerintah mengajak seorang ilmuwan dari Universitas Kyoto, Prof. Kato, dan 10 orang peneliti untuk ikut serta dalam ekspedisi itu.

Ekspedisi yang diikuti 55 orang itu bertujuan untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Puncak Jayawijaya, sekaligus melakukan penelitian tentang keadaan flora, fauna, botani, biologi, meteorologi, dan geologi.

Tim inti pendaki dalam ekspedisi itu adalah dua anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (kini Komando Pasukan Khusus/Kopassus), yakni Letnan I (Lettu) Sudarto dan Pembantu Letnan S. Sugiri, serta seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Fred Athaboe.

Ketiganya berhasil mencapai puncak yang saat itu dinamakan Puncak Sukarno pada 1 Maret 1964, pukul 13.30 WIT. kemudian menulis sehelai dokumen di puncak es di Irian Barat itu.

"Kupersembahkan kepada bangsaku sebagai tanda pengabdianku telah kuselesaikan. Semoga bangsaku tetap djaja," begitu isi tulisan Sudarto.

Dokumen itu dimasukkan ke sebuah botol, lalu ditanam di padang es yang membeku di bawah hamparan bendera merah putih. Itu adalah pertama kali orang Indonesia menginjakkan kaki puncak tertinggi Pegunungan Jayawijaya. Ini peristiwa nasional yang besar waktu itu.

Presiden Sukarno bahkan sempat mengirim amanatnya lewat radio ketika ekspedisi tengah berlangsung.

"Kepada rombongan pendaki, saya perintahkan untuk meneruskan tugas mendaki Puncak Sukarno dan memancangkan Merah-Putih di atasnya, dengan iringan doa restu saya dan dengan keyakinan, bahwa putera-putera Indonesialah yang lebih mampu menguasai alam Indonesia, oleh karena putera-putera Indonesia sendirilah yang dapat berbicara dengan nalurinya untuk mengenal watak dan kepribadian ibunya, Ibu Pertiwi, atau Tanah Air Indonesia. Maju terus! Pantang mundur!"

Akan tetapi, kekuasaan Sukarno goyah akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sukarno akhirnya turun dari panggung kekuasaan pada 1967 setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mencabut gelar presiden seumur hidup, dan mengangkat serta melantik Suharto menjadi presiden.

Setelah itu, pemerintahan Suharto melakukan langkah de-Sukarnoisasi untuk menghilangkan segala pengaruh Sukarno di masa Orde Baru. Nama Puncak Sukarno pun diganti menjadi Puncak Jayawijaya.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada 2009 silam menyatakan prihatin nama mendiang ayahnya tidak lagi menjadi simbol pegunungan tertinggi di Papua.

Megawati mengemukakan, nama pegunungan tertinggi di Papua semula adalah Soekarno. Tetapi pemerintah masa lalu menggantinya dengan Puncak Jaya Wijaya. Penghapusan itu sebagai bentuk sikap yang tidak menghargai pemimpin nasional. Padahal, di negara lain, penghargaan kepada pemimpin nasional yang telah berjasa begitu besar.

"Kalau saya ’ngomong’ begini nanti ada yang bilang ’ah itu ’kan karena Bapakmu’. Bukan, bukan soal itu, tetapi ini soal penghargaan bangsa ini kepada pemimpinnya," katanya dalam Perayaan Natal PDI Perjuangan sekaligus Perayaan HUT ke-36 PDI Perjuangan di Lapangan Tenis Indoor Bumi Wiyata Depok, Jawa Barat, 10 Januari 2009 silam.

Sumber:

Kompas edisi 29 April 1990: "Dua Puluh Enam Tahun, antara Perintis dan Penerus".

https://nasional.kompas.com/read/2022/03/22/07080031/jejak-orde-lama-dan-orde-baru-di-puncak-jayawijaya

Terkini Lainnya

Soal Undangan Jokowi ke Rakernas PDI-P, Puan: Belum Terundang

Soal Undangan Jokowi ke Rakernas PDI-P, Puan: Belum Terundang

Nasional
Kata Kemenkes soal Gejala Covid-19 Varian KP.1 dan KP.2 yang Merebak di Singapura

Kata Kemenkes soal Gejala Covid-19 Varian KP.1 dan KP.2 yang Merebak di Singapura

Nasional
Dewas Sebut KPK Periode Sekarang Paling Tak Enak, Alex: Dari Dulu di Sini Enggak Enak

Dewas Sebut KPK Periode Sekarang Paling Tak Enak, Alex: Dari Dulu di Sini Enggak Enak

Nasional
MK Sebut 106 Sengketa Pileg 2024 Masuk ke Tahap Pembuktian Pekan Depan

MK Sebut 106 Sengketa Pileg 2024 Masuk ke Tahap Pembuktian Pekan Depan

Nasional
Ingatkan Tuntutan Masyarakat Semakin Tinggi, Jokowi: Ada Apa 'Dikit' Viralkan

Ingatkan Tuntutan Masyarakat Semakin Tinggi, Jokowi: Ada Apa "Dikit" Viralkan

Nasional
Komisi II Setuju Perbawaslu Pengawasan Pilkada 2024, Minta Awasi Netralitas Pj Kepala Daerah

Komisi II Setuju Perbawaslu Pengawasan Pilkada 2024, Minta Awasi Netralitas Pj Kepala Daerah

Nasional
Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema 'Student Loan' Imbas UKT Mahal

Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema "Student Loan" Imbas UKT Mahal

Nasional
Angka IMDI 2023 Meningkat, Indonesia Disebut Siap Hadapi Persaingan Digital

Angka IMDI 2023 Meningkat, Indonesia Disebut Siap Hadapi Persaingan Digital

Nasional
Kejagung Koordinasi dengan KIP soal Transparansi Informasi Publik

Kejagung Koordinasi dengan KIP soal Transparansi Informasi Publik

Nasional
Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Nasional
Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Nasional
Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Nasional
Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke