Selain itu, UUD 1945 juga mengatur bahwa sidang untuk mengamendemen konstitusi harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR atau 474 orang anggota MPR.
Sedangkan, perubahan UUD 1945 mesti disetujui oleh setidaknya 50 persen ditambah satu anggota MPR, yakni sedikitnya 356 orang anggota MPR.
Di samping itu, kritik atas wacana penundaan pemilu terus mengalir dari kalangan masyarakat sipil. Peneliti Pusat Politik BRIN, Firman Noor, menilai ada kekhawatiran di kalangan partai politik sehingga memunculkan wacana tersebut.
"Saya lihat manuver politik partai-partai ini bernuansa keputusasaan dan mungkin karena lingkungan politik yang belum cukup sehat sehingga mereka jadi amnesia seolah-olah mereka lupa kenapa ada reformasi,” kata Firman kepada Kompas.com, Selasa.
Dalam pandangan dia, partai politik yang mengusulkan penundaan pemilu mengambil jalan yang bertentangan dengan reformasi. Bahkan, sikap tersebut merupakan bentuk menyepelekan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi konstitusi negara.
Firman mengemukakan, konstitusi memang bisa diubah, namun hanya dalam kondisi genting.
Ia mengingatkan, amendemen konstitusi semestinya dilakukan dengan pertimbangan untuk generasi selanjutnya, bukan hanya kepentingan saat ini.
“Tidak bisa diubah dengan begitu mudahnya hanya karena kepentingan beberapa pihak. Kalau mentalitasnya begitu ya bahaya, karena akhirnya aturan mengikuti kepentingan. Padahal yang benar kepentingan yang harus mengikuti aturannya,” ujar Firman.
Ia khawatir jika wacana penundaan pemilu terus dimunculkan dan akhirnya benar-benar diakomodir, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada demokrasi.
“Jangan sampai demokrasi hanya ada di atas kertas, tapi secara substansi sebetulnya oligarki atau kepentingan elite, ya nuansa kepentingan pragmatis,” imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.