JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima kunjungan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (14/12/2021).
Dalam pertemuan tertutup itu, LaNyalla menyampaikan bahwa DPD sedang menggugat soal presidential threshold (PT) 20 persen agar diturunkan menjadi 0 persen.
"Presidential Threshold setinggi itu akan membuka lahirnya calon presiden boneka. Kemudian pasti akan ada kompromi-kompromi politik," kata LaNyalla dalam keterangannya, Selasa.
Baca juga: Layangkan Gugatan ke MK, Gatot Nurmantyo Minta Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen Dihapus
LaNyalla meyakini hal itu dengan menggunakan fakta bahwa sudah ada tujuh partai politik berkoalisi pada pemerintah.
Ia membeberkan, tujuh partai koalisi itu kini jumlahnya sudah menguasai 82 persen kursi di DPR.
"Tentu saja tidak mungkin akan muncul calon presiden selain yang mereka ajukan. Bisa jadi kemudian yang ada calon boneka. Yang kalah pada akhirnya dapat posisi, Menteri Pertahanan atau Parekraf. Kayak gitulah,” kelakar dia.
Selain kompromi tak sehat, lanjut LaNyalla, PT 20 persen dinilai berpotensi menyebabkan konflik yang tajam di masyarakat.
"Karena calonnya cuma dua. Membelanya sampai mati-matian. Yang terjadi kemudian berantem, berselisih. Dan itu masih terjadi sampai detik ini," imbuh dia.
Lebih lanjut, LaNyalla menyinggung ambang batas yang tinggi membuat semakin sedikit calon pemimpin yang bisa diusung.
Padahal, nilai LaNyalla, banyak sekali anak-anak bangsa yang mampu sebagai pemimpin.
"Tapi karena ada ambang batas itu jadi tidak bisa. Jadi tertutup sudah," lanjutnya.
Baca juga: La Nyalla Nilai Sistem Presidential Threshold Perlemah Demokrasi
Sementara itu, Firli Bahuri sepakat soal ambang batas pencalonan presiden atau PT yang dinilai terlalu tinggi. Namun, kata dia, KPK memandang dari sisi tindak korupsi.
"Kalau saya memandangnya begini, di alam demokrasi saat ini dengan Presidential Threshold 20 persen itu biaya politik menjadi tinggi. Sangat mahal," nilai Firli.
Menurut Firli, tingginya biaya politik menyebabkan adanya politik transaksional yang ujung-ujungnya adalah korupsi.
"Kalau PT 0 persen artinya tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi," ucap dia.