JAKARTA, KOMPAS.com - Amnesty International Indonesia menyebutkan, ruang kebebasan berekspresi di Indonesia pada 2021 semakin menyusut.
Hal itu merujuk pada tingginya data pelanggaran kebebasan berekspresi pada tahun ini.
"Sejak Januari hingga November 2021, Amnesty International Indonesia mencatat bahwa terdapat 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 98 orang korban," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam konferensi pers 'Catatan Akhir 2021: Tahun Bahaya Bagi Pembela HAM', Senin (13/12/2021).
Usman mengatakan, salah satu metode pelanggaran kebebasan berekspresi adalah dengan penggunaan metode UU ITE.
Baca juga: Peserta Harap Jaminan Kebebasan Berekspresi Tak Berhenti di Lomba Mural Polri
Pembungkaman dengan UU ITE ini kerap terjadi kepada mereka yang mengkritik pihak yang lebih berkuasa.
Kasus yang menimpa Stella Monica serta M Asrul menjadi salah satu contoh paling hangat yang terjadi di Indonesia.
Stella Monica dituntut satu tahun penjara dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengunggah keluhannya tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya ke media sosial.
Ia dijadwalkan untuk divonis pada 14 Desember 2021.
Sedangkan M Asrul, seorang jurnalis di Palopo, dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik.
Sebelumnya, ia menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada Mei 2019.
Asrul telah divonis bersalah dan dihukum tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo pada 23 November 2021.
"Kedua kasus ini kembali menunjukkan urgensi revisi UU ITE dengan perspektif perlindungan hak masyarakat, bukan hanya fokus pada ketertiban umum," kata Usman.
Selain itu, penggunaan pasal makar untuk mengkriminalisasi penyampaian pendapat politik secara damai juga terus berulang, terutama di daerah Maluku dan Papua.
Hingga Desember 2021, Amnesty mencatat setidaknya ada 26 tahanan 'hati nurani' di Maluku dan Papua yang ditahan atas tuduhan makar hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai.
Terakhir, pada awal Desember, ada delapan mahasiswa di Jayapura yang dijadikan tersangka kasus makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.