Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia

Kompas.com - 07/10/2021, 10:54 WIB
Ardito Ramadhan,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

Kendati menjadi sosok yang melantik Soeharto, Nasution nyatanya menjadi salah satu tokoh oposisi selama masa rezim Orde Baru.

Pada 5 Mei 1980, Nasution bersama 49 tokoh lainnya meneken Petisi 50 yang berisi kritik atas pemerintahan Presiden Soeharto.

Keterlibatan Nasution dalam Petisi 50 lantas membuat hubungannya dengan Soeharto merenggang. Nasution dan tokoh Petisi 50 lainnya dilarang ke luar negeri dan akses ekonomi mereka dibatasi.

Namun, seiring waktu berjalan, Soeharto mulai melonggarkan penegakan hukum terhadap tokoh Petisi 50. Ia pun membuka pintu rekonsiliasi dengan Nasution.

Pada peringatan HUT ABRI tahun 1997, Nasution diberi pangkat kehormatan jenderal besar, seperti Soeharto dan Jenderal Soedirman.

Nasution wafat pada 6 September 2000 setelah menderita stroke dan koma. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Baca juga: Pierre Tendean, Ajudan Termuda Jenderal AH Nasution

Soeharto

Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 8 Juni 1921. Ia putra dari Kertosudiro, seorang petani sekaligus asisten lurah dalam pengairan sawah desa. Ibunya bernama Sukirah.

Saat beranjak dewasa, Soeharto sempat terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Ia resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.

Di dunia militer, Soeharto memulai karirnya dari pangkat sersan tentara KNIL. Kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.

Pada 1 Maret 1949, Soeharto berhasil memimpin pasukannya merebut kembali Kota Yogyakarta dari Belanda dalam peristiwa yang kelak dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret itu.

Baca juga: Ketika Soekarno Dibujuk Dua Pengusaha, Serahkan Kekuasaan ke Soeharto

Seiring waktu berjalan, Soeharto yang memiliki pangkat mayor jenderal ditunjuk menjadi Panglima Korra I Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad), kini Caduad dikenal sebagai Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Korra I Caduad pimpinan Soeharto mendapat kepercayaan melaksanakan operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat (Papua) dari tangan Belanda.

Pada pertengahan Agustus 1962, dilakukan serbuan umum melawan penjajah Belanda dengan sasaran wilayah Biak, Jayapura. Korra 1/Caduad sendiri menurunkan 1 Divisi.

Hal itu menyebabkan pihak Belanda gentar, dan akhirnya mengeluarkan keputusan menyerah tanpa syarat. Penyerahan Irian Barat ini ditandai dengan berkibarnya bendera Merah Putih pada 1 Maret 1963.

Dalam perkembangan selanjutnya, melalui Keputusan Men/Pangab 19 Februari 1963, Korra I/Caduad dilebur menjadi Komando Strategis TNI Angkatan Darat atau Kostrad. Soeharto tetap menjadi panglima satuan itu dan menjadi Pangkostrad pertama.

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) membuat nama Soeharto melambung. Ia langsung mengamankan situasi di Jakarta akibat para jenderal Angkatan Darat gugur dalam peristiwa itu.

Pada Maret 1966, ia pun menerima Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yakni Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Jusuf.

Dalam surat itu, Soeharto diberi mandat untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban di dalam negeri setelah peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965.

Berbekal surat itu, Soeharto pun membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi di bawahnya pada 12 Maret 1966 dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno.

Baca juga: Kontroversi Supersemar, Kemarahan Soekarno hingga Manuver Soeharto

Namun hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi karena naskah aslinya tak pernah ditemukan.

Meskipun demikian, pasca-Supersemar popularitas Soeharto terus menanjak, sementara sebaliknya kekuasaan Presiden Soekarno mulai meredup.

Akhirnya, pada 7 Maret 1967, Soekarno melepas jabatannya. Soeharto ditunjuk untuk menjadi penjabat presiden lewat Sidang MPRS. Soeharto resmi menjabat dan dilantik sebagai Presiden RI pada 27 Maret 1968.

Soeharto lantas menjabat selama presiden selama 32 tahun sebelum mundur pada 21 Mei 1998 menyusul masifnya gelombang demonstrasi yang diwarnai kerusuhan di sejumlah daerah.

Setelah lengser dari kursi presiden, Soeharto tercatat pernah beberapa kali bolak-balik masuk rumah sakit. Ia mengembuskan napas terakhir pada 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.

Soeharto dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, satu kompleks pemakaman dengan sang istri, Siti Hartinah atau Ibu Tien yang wafat pada April 1996.

Baca juga: Kisah Dewi Soekarno dan Tiga Opsi yang Ditawarkan Soeharto

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com