JAKARTA, KOMPAS.com – Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan mayoritas responden ingin pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Orang dari Penghilangan Paksa.
Dikutip dari Harian Kompas, Senin (30/8/2021), 76 persen responden menyatakan setuju jika pemerintah segera melakukan ratifikasi, sementara 10,5 persen tidak setuju, dan 13,5 persen menyatakan tidak tahu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengajak seluruh negara untuk memerangi impunitas pada kejahatan penghilangan paksa dan menjamin hak semua orang dari kejahatan penghilangan paksa melalui Konvensi Internasional perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (CPED).
Baca juga: Survei Litbang Kompas: 42,9 Persen Responden Tak Yakin soal Penuntasan Kasus Penghilangan Paksa
Menurut peneliti Litbang Kompas Arita Nugraheni, sebagian besar responden dalam jajak pendapat berharap negara segera ikut meratifikasi CPED demi menghadirkan jaminan pada setiap orang atas hak dilindungi dari penghilangan paksa.
Adapun CPED diinisiasi pada 20 Desember 2006 di New York, Amerika Serikat. Saat ini Indonesia baru menandatangani perjanjian tersebut, tapi belum melakukan ratifikasi.
Dengan demikian, Indonesia berkomitmen mengambil langkah perlindungan hak semua orang dari penghilangan paksa, tapi tidak terikat secara hukum.
Tercatat sampai 27 Agustus 2021, ada 64 negara sudah meratifikasi konvensi tersebut. Sudan merupakan negara terakhir yang melakukan proses ratifikasi.
Sementara dii kawasan Asia Tenggara hanya Kamboja yang sudah melakukan ratifikasi pada 2013.
Baca juga: Pemerintah Didesak Ratifikasi Konvensi Internasional soal Penghilangan Paksa
Selain itu, hasil jajak pendapat juga menunjukkan sebanyak 42,9 persen responden merasa tidak yakin pemerintah dapat menyelesaikan berbagai kasus penghilangan orang secara paksa.
Beberapa kasus terkait penghilangan orang secara paksa antara lain Tragedi 1965, Timor Timur, penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, pembantaian Talangsari, penembakan misterius, kerusuhan Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997-1998, dan operasi militer di Papua.
Terdapat dua kasus yang menjadi sorotan utama responden yaitu Tragedi 1965 dan penculikan aktivis 1997-1998.
Sebanyak 50,9 persen responden menyebut tragedi 1965 belum tuntas sampai kini. Sementara 43,5 responden menilai pemerintah belum serius menangani kasus penculikan aktivis 1997-1998.
Baca juga: Lingkaran Kekerasan yang Tidak Pernah Putus...
Arita memaparkan, DPR dan Mahkamah Agung telah memberikan rekomendasi agar pemerintah merehabilitasi korban-korban tragedi 1965, tapi permintaan maaf pada keluarga korban tak kunjung dilakukan pemerintah.
Pemerintah juga tak kunjung melaksanakan empat rekomendasi DPR pada 2009 tentang penyelesaian kasus penculikan aktivis, seperti rekomendasi pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13 aktivis yang hilang, rehabilitasi keluarga korban, hingga ratifikasi dari Komite Kerja Penghilangan Paksa atau Committee on Enforced Dissapearences (CED) PBB.
Survei Litbang Kompas dilakukan pada 18-20 Agustus 2021 dengan melibatkan 522 responden yang dipilih secara acak dari 34 provinsi.
Pengumpulan pendapat dilakukan melalui telepon. Tingkat kepercayaan survei sebesar 95 persen dengan tingkat ketidakpercayaan kurang lebih sebesar 4,29 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.