JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengatakan, langkah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko dalam merespons hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) seputar ivermectin dengan menggunakan jalur hukum terlalu berlebihan.
Menurut dia, tak seharusnya Moeldoko sebagai pejabat publik menempuh jalur hukum jika ICW tak dapat membuktikan hasil penelitian tersebut.
"Tidak seharusnya pejabat publik setingkat Kepala KSP merespons hasil penelitian ICW seputar Ivermectin dengan langkah hukum," kata Damar kepada Kompas.com, Sabtu (31/7/2021).
Ia menjelaskan, hasil penelitian ICW itu seharusnya diartikan sebagai bukti partisipasi masyarakat dalam pengawasan tingkah laku elite dari perilaku koruptif.
Terlebih, menurutnya potensi perilaku koruptif di masa pandemi perlu diawasi. Ia mengingatkan bahwa kepentingan orang banyak akan kesehatan haruslah menjadi yang utama daripada kepentingan segelintir orang dalam upaya mengambil untung atau rente.
Untuk itu, saran Damar, jika Moeldoko keberatan dengan hasil penelitian yang menyudutkan dirinya, maka bisa dilakukan dengan cara klarifikasi ke publik.
"Bila keberatan dengan hasil penelitian tersebut, bisa dilakukan klarifikasi dengan bantahan keterlibatan dirinya dalam kampanye Ivermectin sebagai obat Covid-19," ujarnya.
"Klarifikasi ini bisa dipaparkan ke publik dan dijadikan bahan pertimbangan bagi media dan publik untuk menilai," sambung dia.
Penilaian berikutnya dari Safenet, Moeldoko berlebihan jika mengategorikan hasil penelitian ICW sebagai upaya pencemaran nama baik atau fitnah.
Ia menilai, hal tersebut berlebihan baik jika dikaitkan dengna Pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Baru dapat dikatakan sebagai pencemaran nama atau fitnah apabila tidak ada bukti atau fakta. Sedangkan ICW justru mendasarkan pendapatnya pada temuan-temuan yang berbasis fakta," jelasnya.
Tak sepakat dengan sikap Moeldoko, menurut Damar, apa yang dikerjakan oleh ICW dalam penelitiannya justru bagian dari kepentingan umum guna mendapatkan informasi mutakhir terkait persoalan Covid-19.
Lebih lanjut, Damar berpandangan, Moeldoko dinilai gagal menunjukkan komitmen untuk menjaga demokrasi jika tetap kekeuh menempuh jalur hukum terhadap ICW.
Baca juga: Moeldoko Dinilai Tak Perlu Ancam Pidana ICW
Ia pun mengaitkan hal tersebut dengan komitmen pemerintah yang akan merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE.
"Moeldoko yang mengancam akan melakukan upaya hukum pada ICW gagal menunjukkan komitmen menjaga demokrasi, di mana seharusnya praktik penggunaan pasal bermasalah UU ITE dikurangi. Tetapi malah digunakan untuk memberangus suara atau pendapat yang muncul," tutur Damar.
Sebelumnnya diberitakan, KSP Moeldoko memberi waktu 1x24 jam kepada ICW untuk membuktikan tuduhan mereka perihal obat Ivermectin.
Ia menanggapi soal peneliti ICW, Egi Primayoga yang beberapa waktu lalu menyebut Moeldoko memiliki hubungan dengan produsen Ivermectin, PT Harsen Laboratories.
"Saya meminta, memberi kesempatan pada ICW dan kepada Saudara Egi 1×24 jam untuk membuktikan tuduhannya bahwa klien kami telah berburu rente dalam peredaran Ivermectin," kata kuasa hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, dalam konferensi pers daring, Kamis (29/7/2021).
Otto mengatakan, tuduhan ICW terhadap Moeldoko tidak bertanggung jawab dan bersifat fitnah. Tudingan itu juga dinilai telah merusak nama baik Moeldoko.
Baca juga: Soal ivermectin, ICW Masih Belum Terima Surat Somasi Moeldoko
Otto juga mengatakan, Moeldoko enggan langsung menempuh langkah hukum dalam persoalan ini.
Namun, kata dia, Moeldoko ingin upaya hukum menjadi jalur terakhir yang akan ditempuh.
"Selesaikan perkara ini dengan cara-cara yang terbaik, tidak ribut-ribut, terbuka, transparan, dan tidak perlu kalau boleh di luar hukumlah," kata Otto mengingat ucapan Moeldoko.
"Pak Moeldoko berpesan kepada saya, kalau toh jalur hukum, itu adalah merupakan upaya yang terakhir sebagi ultimum remedium," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.