Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tragedi Kerusuhan Mei 1998, Kisah Pilu Maria Sanu...

Kompas.com - 16/05/2021, 11:00 WIB
Tatang Guritno,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Tragedi kerusuhan Mei 1998 telah meninggalkan banyak kisah pilu. Salah satunya kisah yang dialami Maria Sanu.

Ia kehilangan anaknya, Stevanus Sanu, dalam peristiwa kebakaran Yogya Plaza, Klender, Jakarta Timur, pada 14 Mei 1998. Ketika itu Stevanus berusia 16 tahun.

Dalam wawancara Kompas.com 2016, Maria menuturkan kala itu Stevanus tak kunjung pulang hingga pukul 12.00 WIB.

Ia sempat mencari anaknya ke lapangan dekat Masjid tempat Stevanus biasa bermain. Kemudian Maria bertemu dengan salah seorang teman Stevanus yang mengatakan kalau anaknya itu pergi ke Yogya Plaza.

"Saya tanya ke temannya, temannya bilang pergi ke mal Yogya Plaza. Saya tanya ada apa, katanya ada penjarahan," ucap Maria.

Baca juga: Retrospeksi Tragedi Mei 1998: Kekerasan terhadap Perempuan yang Kerap Dilupakan

Rumah Maria terletak di Perumnas Klender, tidak terlalu jauh dengan Yogya Plaza.

Ia melihat orang-orang saat itu berlarian sambil membawa barang-barang jarahan seperti televisi, kulkas, kipas angin, setrika, dan lain sebagainya.

Hingga petang, Stevanus tak kunjung pulang. Sementara, Maria sudah bersiap untuk mengikuti doa rosario di rumah kerabatnya.

Namun, Maria memilih untuk menunggu. Sebab, keesokan paginya Stevanus berjanji akan menemani Maria pergi.

Maria juga sempat mendengar kabar bahwa anak tetangganya terpaksa berjalan kaki sampai ke rumah karena tidak ada angkutan umum.

"Saya bilang saya juga sedang nunggu Stevanus, sampai sekarang belum pulang," kata Maria.

"Biasanya dia aktif dan rajin ikut doa rosario. Stevanus pasti tahu kalau Kamis malam akan ada doa rosario," tutur dia.

Baca juga: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan

Dua hari pasca-kebakaran Yogya Plaza, Maria tak kunjung mendapat kabar tentang keberadaan Stevanus.

Dari berita di televisi ia mengetahui ada ratusan korban kebakaran yang sudah tidak dapat diidentifikasi dan akan dikuburkan secara massal.

Maria makin, Stevanus termasuk salah satu korban dalam peristiwa itu. Ia sempat meminta anaknya yang lain untuk mencari Stevanus di RSCM.

"Hari Minggu, anak saya pergi ke RSCM, tapi tidak bisa menemukan Stevanus, karena banyak dari korban itu sudah enggak bisa dikenali," ujar Maria.

Maria juga sudah melaporkan ke Polsek Duren Sawit. Kendati demikian, Stevanus belum juga ditemukan.

"Akhirnya saya hanya bisa pasrah kepada Tuhan," imbuh dia.

Dugaan Pelanggaran HAM berat

Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), peristiwa kerusuhan pada 13 hingga 15 Mei 1998 di sejumlah tempat terjadi secara sistematis, masif dan meluas. Peristiwa itu dinilai memenuhi syarat dugaan pelanggaran HAM berat.

TGPF menemukan fakta, kebakaran di mal Yogya Plaza diawali dengan provokasi oleh sekelompok orang pada masyarakat untuk melakukan penjarahan.

Baca juga: Utang yang Tak Kunjung Lunas: Pelanggaran HAM Berat pada Masa Lalu

Setelah masyarakat terpancing untuk melakukan penjarahan, mal ditutup dari luar kemudian dibakar. Sekelompok provokator ini kemudian diketahui menghilang pasca mal Yogya Plaza terbakar.

TGPF juga berkeyakinan peristiwa 13-15 Mei 1998 tidak bisa dilepaskan dari konteks keadaan dan dinamika sosial-politik masyarakat saat itu.

Peristiwa-peristiwa sebelumnya, yaitu Pemilu 1997, penculikan aktivis, krisis ekonomi, Sidang Umum MPR 1998, demonstrasi mahasiswa tiada henti, dan tertembaknya mahasiswa Universitas Trisakti, semuanya saling terkait.

Janji yang belum ditepati

Pada masa kampanye Pilpres 2014, Presiden Joko Widodo berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawacita.

Dalam salah satu poin dari sembilan agenda prioritas Nawacita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan.

Baca juga: Pilpres 2019, Antiklimaks Perlindungan HAM

Jokowi menegaskan komitmennya atas penyelesaian delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah beban sosial politik.

Delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dimaksud yakni kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965.

Saat debat Pilpres 2019, Presiden Jokowi mengakui penuntasan kasus HAM pada masa lalu sangat sulit dilakukan karena sudah terjadi terlalu lama. Namun, ia tetap berkomitmen akan menunaikan janji yang pernah disampaikan.

Baca juga: Wawancara Khusus - Mahfud MD Bicara Soal Pesimisme Pemberantasan Korupsi dan Penegakan HAM - (Bagian 2 dari 2 Tulisan)

Adapun pemerintah berencana membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP PPHB) yang akan fokus penyelesaian kasus HAM berat melalui jalur non-yudisial.

Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Mualimin Abdi menjelaskan, UKP PPHB dimaksudkan untuk memberi jaminan bahwa negara hadir untuk korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat.

Ia menegaskan, UKP PPHB tidak lantas membuat penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial berhenti.

"Jadi bukan tindakan non-yudisial dilakukan, penyelesaian melalui mekanisme yudisialnya berhenti. Justru kalau proses hukumnya berjalan, dan upaya non-yudisial dengan pemulihan hak korban selesai, ini kan baik untuk korban," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com